Minggu, 03 Mei 2020


Penataan Kewenangan Gubernur Dalam Pengembangan Ekonomi
Provinsi Kalimantan Timur[1]
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
A.      Dasar Pemikiran
                Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah  sebagai kelanjutan dari amanah konstitusi memberlakukan sistem pembagian  kewenangan dengan melaui sebuah pemilahan urusan diantaranya absolut (pasal 9  (2) ), kewenangan konkuren (Piihan dan wajib) pada pasal 9 ayat (3) dan urusan  pemerintahan umum pada pasal 9 ayat 5. Pada urusan konkuren, pola hubungan tersebut  belum menunjukkan  proporsionalitas kewenangan sekaligus belum selaras dengan amanah konstitusi.
                Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam menjalankan kewenangan tersebut masih diatur oleh beberapa Peraturan Menteri (Permen) sebagai pembantu presiden sehingga  gubernur dalam mengambil kebijakan dan menentukan skala prioritas  kewenangan dekonsentrasi atau desentralisasi  tidak dapat dilakukan karena terdapat intervensi regulasi kementrian yang sentralistis. Hal tersebut ini sering  berimplikasi terhadap terjadinya benturan kewenangan antara peraturan menteri dan peraturan daerah. Meskipun, secara teoretis dan normatif, sudah terdapat pola pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah melalui UU No. 23 Tahun 2014.
Pola hubungan pusat dan daerah yang terbangun menempatkan gubernur  pada posisi sentral otonomi daerah dimana berdasarkan ayat 2 pasal 91 UU 23  Tahun 2014  disebutkan beberapa tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil  pemerintah diwilayah provinsi, anatar lain; pembinaan dan pengawasan  penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota,koordinasi  penyelenggaraan urusan pemerintah diwilayah provinsi dan kabupaten/ kota; serta  koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelengaraan tugas pembantuan di  daerah provinsi dan kabupaten/kota,kedudukan provinsi yang bersifat ganda ini  telah membawa dampak bagi munculnya berbagai kemungkinan benturan   kewenangan. 
Salah satu ekses dari gubernur sebagai desain pengaturan kewenangan Pusat, Daerah dan Gubernur adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam UU, tidak dapat  melaksanakan tugasnya secara maksimal  karena masih banyak peraturan menteri  yang memiliki dampak hukum pada  pelaksanaan program  pemerintah di daerah dan berdampak terhadap kualitas pelaksanakan urusan pemerintahan oleh Gubernur.  Dampak dari permasalahan di atas terjadi kebocoran ekonomi atau dalam perspektif hukum keuangan negara sering disebut sebagai potensial loss pada  pengelolaan kekayaan negara sebagai akibat  dari lemahnya sistem pengawasan terhadap sistem kendali  produksi Sumber Daya Alam berikut tata niaga di daerah karena gubernur sebagai  wakil pemerintah tidak memiliki kewenangan yang utuh.
Gubernur sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat tidak  dapat  secara optimal menjaga aset negara baik yang berupa barang milik negara maupun  kekayaan negara yang dipisahkan dikarenakan problematika regulasi pusat dan  daerah yang tidak sinkron dan menghambat. Diperlukan adanya penataan kewenangan gubernur baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil pemerintah serta penataan Hubungan Antara Gubernur, Walikota dan Bupati di Kalimantan Timur. dalam rangka pengembangan ekonomi dan pengamanan aset negara di Provinsi  Kalimantan Timur.
B.      Kewenangan Gubernur Desain Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah  
Persoalan desentralisasi mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yaitu: sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas, dan pengakuan terhadap local identity.[3] Oleh karena itu, yang diperlukan adalah pemerintahan daerah yang kuat dan sistem otonomi yang kuat pula. Kuat dalam artian mempunyai tingkat determinasi dan kapasitas yang mumpuni untuk mengemban tugas otonomi yang diberikan.[4] Hal itu sejalan dengan tesis Keith Miller [5]yang menyatakan bahwa: “strong local government and decentralization are essential...Most countries around the world are therefore presently engaged in some initiative towards decentralizing the state and enhancing local government”
Bagan 1
Klasifikasi Urusan Pemerintahan


Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 sebenarnya justru diperluas di bidang pembinaan dan pengawasan yang terdapat pada bidang keuangan, kepegawaian, dan kebijakan sebagai berikut[6] :
a.       Urusan keuangan : Gubernur dapat melakukan evaluasi APBD Kabupaten/kota dan dapat memberikan rekomendasi usulan DAK (Dana Alokasi Khusus) kabupaten/kota kepada Pemerintah Pusat, hal ini dalam kapasitas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
b.       Urusan kepegawaian : Gubernur dapat membentuk Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali membentuk instansi yang mencampuri urusan pemerintahan absolut, melantik kepala Instansi Vertikal yang ditugaskan di wilayah provinsi, selain itu Gubernur memegang wewenang pemberian izin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) ingin pindah kabupaten/kota dalam satu  wilayah provinsi melalu BKD.
c.       Urusan kebijakan : Gubernur mengevaluasi rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD, rencana tata ruang daerah, pajak dan retribusi daerah serta menyelaraskan perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota dan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya.

PP No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat  terkait dengan kewenangan Gubernur, mengatur sebagai berikut:
Tabel 1
Kewenangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

No
Klasifikasi
Pengaturan Kewenangan Gubernur
1.        
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
a.       mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota;
b.      melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan memfasilitasi daerah;
c.       memberdayakan dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.       melakukan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang jangka panjang daerah,rencana rencana pembangunan jangka menengah daerah, anggaran dan belanja daerah, perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah, anggaran pendapatan belanja daerah, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusidaerah;
e.      melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/ kota; dan
f.        tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.        
Dalam melaksanakan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
a.       membatalkan peraturan bupati/wa1i kota;
b.      memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan daerah;
c.       menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antardaerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
d.      Memberikan persetujuan terhadap rancangan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah kabupaten/kota; dan
e.      melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3
Tugas Gubernur Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan
a.       menyelaraskan perencanaan pembangunan antardaerah kabupaten/kota dan antara daerah provinsi  dan daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
b.      mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dan antardaerah kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya;
c.       memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas usulan dana alokasi khusus pada daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.      melantik bupati/wali kota;
e.      memberikan persetujuan pembentukan instansi vertikal di wilayah provinsi kecudi pembentukan instansi vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan instansi vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f.        melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lemb"ga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala instansi vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan kepala instansi vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
g.       melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peran gubernur sebagai kepala daerah otonom dalam pasal  ayat (1) dan sebagai wakil pemerintah pusat pasal 91 ayat (2) meliputi:
Pasal 65 :
(1) Kepala daerah mempunyai tugas:
a.       memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.       memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
c.       menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
d.      d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
e.      mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f.        mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
g.       melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91 :
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas:
a.       mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota;
b.      melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c.       memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.      melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;
e.      melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
f.        melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C.      Kewenangan Atribusi, Delegasi dan Mandat Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
Mencermati karakter dari pemberian kewenangan kepada Gubernur berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, terlihat terdapat 3 (tiga) karakter sekaligus dari wewenang yang diberikan kepada Gubernur, yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Maka, perlu dilakukan analisis berdasarkan Hukum Administrasi Negara terhadap karakter dari kewenangan yang diberikan kepada Gubernur.  Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah diatur definisi stipulatif dari Atribusi, Delegasi, dan Mandat dalam Pasal 1 angka 22, 23 dan 24. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Sedangkan mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.



Bagan 2
Sumber Kewenangan Dalam Hukum Administrasi Negara




Kewenangan Gubernur sebagai Kepala Daerah
1.       Berdasarkan Kewenangan Atribusi
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jelas mengatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota mesing-masing sebagai kepala Pemerintahan daerah Provinsi, kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis. Pasal 18 ayat (6) juga mengatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan yang kemudian diperjelas dalam Pasal 240 ayat (2) UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah  bahwa Penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Dalam hal ini bahwa gubernur diberi wewenang untuk membuat perda.
Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2014 mengenai atribusi dapat disimpulkan bahwa kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai pembuat peraturan daerah tampak bahwa wewenang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari Peraturan Perundang-Undangan. Dengan kata lain, gubernur memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal dalam Peraturan perundang-undangan yaitu UUD tahun 1945 dan UU No.23 Tahun 2014.

2.       Berdasarkan  Kewenangan Delegasi
Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 membedakan antara urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan Umum. Ayat (1) mengatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Ayat (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ayat (3) Urusan pemerintahan konkruen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemrintah pusat dan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (4) Urusan Pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Ayat (5) Urusan Pemerintahan Umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.  Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pasal 11 dan 12 UU No.23 Tahun 2014 menjabarkan lebih lanjut mengenai urusan pemerintahan konkuren yaitu :
Pasal 11 :
(1)    Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2)    Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
(3)    Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12 :
(1)    Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a.         pendidikan;
b.        kesehatan;
c.         pekerjaan umum dan penataan ruang;
d.        perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e.        ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f.          sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a.         tenaga kerja;
b.         pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c.         pangan;
d.        pertanahan;
e.        lingkungan hidup;
f.          administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g.         pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h.        pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i.           perhubungan;
j.          komunikasi dan informatika;
k.         koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l.           penanaman modal;
m.      kepemudaan dan olah raga;
n.        statistik; o. persandian;
o.        kebudayaan;
p.        perpustakaan; dan
q.        kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a.       kelautan dan perikanan;
b.      pariwisata;
c.       pertanian;
d.      kehutanan;
e.      energi dan sumber daya mineral;
f.         perdagangan;
g.       perindustrian; dan
h.      transmigrasi.
            Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2014 sehubungan dengan konsep Delegasi yang telah dijabarkan sebelumnya, tampak bahwa wewenang Gubernur diperoleh secara delegasi. Hal terlihat dari desain mengenai urusan pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemrintahan pusat dan daerah provinsi dan Urusan Pemerintahan konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah seperti pendidikan; kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman; ketertiban umum dan pelindungan masyarakat, sosial dan lain sebagainya yang sesungguhnya hal tersebut sudah diletakkan di bawah kewenangan masing-masing kementerian sektoral yang dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun dilimpahkan kepada pemerintahan daerah, dalam hal ini termasuk Gubernur,  yang maknanya dalam Hukum Administrasi Negara tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada kewenangan pemberi delegasi, tetapi beralih kepada Gubernur selaku penerima delegasi (delegataris) dan selaku kepala pemerintahan daerah provinsi.

3. Kewenangan Mandat
Pasal 91 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur  bahwa :
(1)   Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2)   Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas:
a.    mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota;
b.    melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c.     memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.    melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;
e.    melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan 
f.     melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang:
a.     membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota;
b.    memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
c.     menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi;
d.    memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)     Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas dan wewenang:
a.       menyelaraskan perencanaan pembangunan antar Daerah   kabupaten/kota dan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
b.      mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dan antar-Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c.       memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas usulan DAK pada Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.      melantik bupati/wali kota;
e.      memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f.        melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 92 UU No.23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri mengambil alih pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 mengenai mandat yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kewenangan Gubernur juga diperoleh secara mandat, karena Gubernur sebagai penerima mandat (mandataris) hanya bertindak atas nama pemberi mandat (mandans) dalam hal ini pemerintah Pusat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat (mandans).
Mengacu pada karakter kewenangan yang dberikan kepada Gubernur berdasarkan 3 (tiga) teori sumber kewenangan dalam Hukum Administrasi Negara tersebut, dapat direkomendasikan bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat (dhi. Menteri Sektoral) dengan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat sekaligus selaku Kepala Daerah Provinsi perlu didasarkan atas hal-hal berikut:
1.       Batas kewenangan Menteri dalam melaksanakan kewenangan intervensi, supervisi maupun rekognisi harus disesuaikan dan memperhatikan karakter dari kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Pada kewenangan delegasi (Pasal 11 dan 12 UU No. 23 Tahun 2014), Menteri sektoral hanya diperkenankan sebatas menjalankan kewenangan supervisi dan rekognisi. Pada kewenangan gubernur yang berkarakter mandat (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (4), kewenangan Menteri sektoral bisa melakukan intervensi dalam hal kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh Gubernur dilalaikan.
2.       Diperlukan NSPK (UU No. 23 Tahun 2014) atau Standar Operasional Prosedur (UU Administrasi Pemerintah) untuk menata hubungan Menteri Sektoral dengan Gubernur terkait dengan kewenangan yang berkarakter delegasi dan mandat.
3.       Menteri Dalam Negeri perlu memfasilitasi sistem penataan hubungan kewenangan antara Pusat (Menteri Sektoral) dengan Gubernur dalam konteks hubungan kewenangan Pusat dan Daerah.




D.      Desain Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah

Bagan 3
Hubungan Kekuasaan Pemerintah Pusat dan Daerah




Latar belakang perlunya ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, antara lain: (a) Menjamin efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) Menata manajemen pemerintahan daerah yang lebih responsive, akuntabel, transparan, dan efesien; (c) Menata keseimbangan tanggung jawab antar tingkatan/susunan pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan; (d) Menata pembentukan daerah agar lebih selektif sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah; dan (e) Menata hubungan pusat dan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.





Bagan 4
Isu Strategis UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah



Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 merubah wajah hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk masyarakat. Padahal substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib Daerah, dan pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang langsung dimasukkan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, tidak dibuat menjadi Peraturan Pemerintah seperti pada Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 (Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007) yang mengatur hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah).[7]
Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk masyarakat. Padahal substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib Daerah, dan pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang langsung dimasukkan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diklasifikasi urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih mengarah pada desentralisasi, dilihat dari adanya pembagian urusan meskipun diklasifikasikan secara rinci ke dalam 3 urusan pemerintahan.[8] Kewenangan pemerintah provinsi disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU no. 23 Tahun 2014 yang meliputi; a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi; 5. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (4) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/ atau; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward dapat dibedakan menjadi tiga, yakni[9]: Pertama, The relative Autonomy Model, memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan; kedua The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan sistem keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat; ketiga The Interaction Model. Merupakan suatu bentuk model dimana keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, yang dalam Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 diatur bahwa Urusan pemerintahan Konkuren inilah yang menjadi dasar Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib Pelayanan dasar dan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar. Berdasarkan pembagian urusan kewenangan tersebut, merujuk pada teori Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward masih dapat diklasifikasikan sebagai The Agency Model. Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol.[10] Namun, pelaksanaan kewenangan Menteri Sektoral dalam hubungannya dengan Gubernur harus dikaitkan dengan karakter dari kewenangan yang diberikan kepada Gubernur.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut berdasarkan Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2014 didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Prinsip akuntabilitas dimaksudkan bahwa Penanggungjawabnya berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan prinsip efisiensi adalah Perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Sedangkan Prinsip eksternalitas merupakan Luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Dan Prinsip kepentingan strategis nasional bahwa dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, masih menerapkan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masih sama kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah.
Mengacu pada pola hubungan Pusat dan Daerah tersebut, diperlukan adanya pemahaman bersama antara pusat dan daerah mengenai filosofi dan tujuan desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang pada hakikatnya untuk melakukan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah. Kegagalan Gubernur untuk mengoptimalkan pelaksanaan kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengamankan aset dan sumber daya alam di daerah bisa berdampak terhadap kegagalan dalam merealisasikan tujuan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU No. 23 Tahun 2014 yang bisa menimbulkan terjadinya potential loss. Hal itu harus diatasi dengan memahami secara utuh filosofi dan tujuan otonomi daerah sebagaimana digariskan oleh UU No. 23 Tahun 2014.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memperluas kewenangan yang berkaitan terhadap kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam menjalankan pemerintahan di daerah dibandingkan UU No. 32 Tahun 2004 yang hanya berwenang dalam hal pembinaan, pengawasan, dan koordinasi saja. Dalam ketentuan Pasal 91 UU No. 23 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki wewenang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat diperkuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 2014 antara lain Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat melakukan evaluasi dalam proses legislasi dan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat membatalkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota, serta Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat menjatuhkan sanksi kepada Bupati/Walikota terkait penyelenggara pemerintahan di daerah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik. Hal ini dilakukan guna meningkatkan koordinasi yang baik antara Gubernur selaku wakil pemerintah pusat dengan Bupati/Walikota sebagai daerah otonom.[11] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah meletakkan provinsi dalam kedudukan yang bersifat ganda. Satu sisi provinsi ditempatkan sebagai daerah otonom yang berfungsi menjalankan kewenangan desentralisasi pada sisilain merupakan perpanjangan tangan pusat yang berfungsi menjalankan kewenangann dekonsentrasi diwilayah regional. Kedudukan provinsi sebagai daerah otonom (desentralisasi) dan perpanjangan tangan pusat (dekonsentrasi) dipegang seorang pejabat yaitu gubernur.[12] Hal-hal tersebut memberikan justifikasi untuk memperkuat posisi gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus mengatur kriteria dan persyaratan bagi penggunaan kewenangan Kementerian Sektoral dalam melaksanakan intervensi maupun anulasi atas pelaksanaan kewenangan gubernur dalam konteks 3 (tiga) jenis karakter dari kewenangan yang diberikan kepada gubernur berdasarkan Hukum Administrasi Negara.


Bagan 4
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat






E.       Rekomendasi
Berdasarkan analisis di atas dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:
1.       Batas kewenangan Menteri dalam melaksanakan kewenangan intervensi, supervisi maupun rekognisi harus disesuaikan dan memperhatikan karakter dari kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Pada kewenangan delegasi (Pasal 11 dan 12 UU No. 23 Tahun 2014), Menteri sektoral hanya diperkenankan sebatas menjalankan kewenangan supervisi dan rekognisi. Pada kewenangan gubernur yang berkarakter mandat (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (4), kewenangan Menteri sektoral bisa melakukan intervensi dalam hal kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh Gubernur dilalaikan.
2.       Diperlukan NSPK (UU No. 23 Tahun 2014) atau Standar Operasional Prosedur (UU Administrasi Pemerintah) untuk menata hubungan Menteri Sektoral dengan Gubernur terkait dengan kewenangan yang berkarakter delegasi dan mandat.
3.       Menteri Dalam Negeri perlu memfasilitasi sistem penataan hubungan kewenangan antara Pusat (Menteri Sektoral) dengan Gubernur dalam konteks hubungan kewenangan Pusat dan Daerah.
4.       Substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah.
5.       Mengacu pada pola hubungan Pusat dan Daerah tersebut, diperlukan adanya pemahaman bersama antara pusat dan daerah mengenai filosofi dan tujuan desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang pada hakikatnya untuk melakukan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah.
6.       Kegagalan Gubernur untuk mengoptimalkan pelaksanaan kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengamankan aset dan sumber daya alam di daerah bisa berdampak terhadap kegagalan dalam merealisasikan tujuan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU No. 23 Tahun 2014 yang bisa menimbulkan terjadinya potential loss. Hal itu harus diatasi dengan memahami secara utuh filosofi dan tujuan otonomi daerah sebagaimana digariskan oleh UU No. 23 Tahun 2014.

Kaki Merapi, 14 Desember 2019



[1]  Paper yang disampaikan dalam FGD yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di Hotel Gran Senyiur Balikpapan Kalimantan Timur, 19 Desember 2019.

[2] Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
[3] Cornelis Lay dalam Kaho, Josef Riwu, 2003. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Rajawali Press, Jakarta.
[4] Dinoroy Marganda Aritonang dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13 N0. 01 - Maret  2016 : 41 - 52 berjudul “Pola Distribusi Urusan Pemerintah Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”,
[5] Miller, Keith L, 2002. Advantages and Disadvantages of Local Government Decentralization http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/dow nload?doi=10.1.1.134.5990&rep=rep1&type=pdf (diunduh tanggal 2 Desember 2015), hlm. 3.
[7] Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, artikel dalam Jurnal Media Hukum VOL.23 NO.2 / DESEMBER 2016
[8] Ibid.
[9] Nihmatul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusa Media, 2009, hal. 248.
[10] Septi Nur Wijayanti, Op.Cit. hal. 195.
[11] Jaka Mirdinata, Loc.Cit.

Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...