Penataan Kewenangan Gubernur Dalam
Pengembangan Ekonomi
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.[2]
A.
Dasar
Pemikiran
Undang-Undang
No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagai kelanjutan dari amanah konstitusi memberlakukan sistem
pembagian kewenangan dengan melaui
sebuah pemilahan urusan diantaranya absolut (pasal 9 (2) ), kewenangan konkuren (Piihan dan wajib)
pada pasal 9 ayat (3) dan urusan
pemerintahan umum pada pasal 9 ayat 5. Pada urusan konkuren, pola
hubungan tersebut belum menunjukkan proporsionalitas kewenangan sekaligus belum
selaras dengan amanah konstitusi.
Pemerintah Daerah, termasuk
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam menjalankan kewenangan tersebut masih
diatur oleh beberapa Peraturan Menteri (Permen) sebagai pembantu presiden
sehingga gubernur dalam mengambil
kebijakan dan menentukan skala prioritas
kewenangan dekonsentrasi atau desentralisasi tidak dapat dilakukan karena terdapat
intervensi regulasi kementrian yang sentralistis. Hal tersebut ini sering berimplikasi terhadap terjadinya benturan
kewenangan antara peraturan menteri dan peraturan daerah. Meskipun, secara
teoretis dan normatif, sudah terdapat pola pembagian kewenangan antara Pusat dan
Daerah melalui UU No. 23 Tahun 2014.
Pola
hubungan pusat dan daerah yang terbangun menempatkan gubernur pada posisi sentral otonomi daerah dimana
berdasarkan ayat 2 pasal 91 UU 23 Tahun
2014 disebutkan beberapa tugas dan
wewenang gubernur sebagai wakil
pemerintah diwilayah provinsi, anatar lain; pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota,koordinasi penyelenggaraan
urusan pemerintah diwilayah provinsi dan kabupaten/ kota; serta koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelengaraan
tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota,kedudukan provinsi yang bersifat ganda ini telah membawa dampak bagi munculnya berbagai
kemungkinan benturan kewenangan.
Salah
satu ekses dari gubernur sebagai desain pengaturan kewenangan Pusat, Daerah dan
Gubernur adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur
dalam UU, tidak dapat melaksanakan
tugasnya secara maksimal karena masih
banyak peraturan menteri yang memiliki
dampak hukum pada pelaksanaan
program pemerintah di daerah dan
berdampak terhadap kualitas pelaksanakan urusan pemerintahan oleh
Gubernur. Dampak dari permasalahan di
atas terjadi kebocoran ekonomi atau dalam perspektif hukum keuangan negara
sering disebut sebagai potensial loss pada
pengelolaan kekayaan negara sebagai akibat dari lemahnya sistem pengawasan terhadap
sistem kendali produksi Sumber Daya Alam
berikut tata niaga di daerah karena gubernur sebagai wakil pemerintah tidak memiliki kewenangan
yang utuh.
Gubernur
sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat tidak dapat
secara optimal menjaga aset negara baik yang berupa barang milik negara
maupun kekayaan negara yang dipisahkan
dikarenakan problematika regulasi pusat dan
daerah yang tidak sinkron dan menghambat. Diperlukan adanya penataan
kewenangan gubernur baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil pemerintah
serta penataan Hubungan Antara Gubernur, Walikota dan Bupati di Kalimantan
Timur. dalam rangka pengembangan ekonomi dan pengamanan aset negara di Provinsi Kalimantan Timur.
B. Kewenangan Gubernur Desain Pembagian
Kewenangan Pusat dan Daerah
Persoalan
desentralisasi mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik,
yaitu: sharing of power, sharing of
revenue, empowering lokalitas, dan pengakuan terhadap local identity.[3]
Oleh karena itu, yang diperlukan adalah pemerintahan daerah yang kuat dan
sistem otonomi yang kuat pula. Kuat dalam artian mempunyai tingkat determinasi
dan kapasitas yang mumpuni untuk mengemban tugas otonomi yang diberikan.[4]
Hal itu sejalan dengan tesis Keith Miller [5]yang
menyatakan bahwa: “strong local government and decentralization are
essential...Most countries around the world are therefore presently engaged in
some initiative towards decentralizing the state and enhancing local
government”
Bagan 1
Klasifikasi
Urusan Pemerintahan
Kewenangan
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 sebenarnya
justru diperluas di bidang pembinaan dan pengawasan yang terdapat pada bidang
keuangan, kepegawaian, dan kebijakan sebagai berikut[6] :
a.
Urusan keuangan : Gubernur dapat melakukan evaluasi APBD
Kabupaten/kota dan dapat memberikan rekomendasi usulan DAK (Dana Alokasi
Khusus) kabupaten/kota kepada Pemerintah Pusat, hal ini dalam kapasitas
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
b.
Urusan kepegawaian : Gubernur dapat membentuk
Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali membentuk instansi yang
mencampuri urusan pemerintahan absolut, melantik kepala Instansi Vertikal yang
ditugaskan di wilayah provinsi, selain itu Gubernur memegang wewenang pemberian
izin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) ingin pindah kabupaten/kota dalam satu
wilayah provinsi melalu BKD.
c.
Urusan kebijakan : Gubernur mengevaluasi rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang RPJPD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD,
rencana tata ruang daerah, pajak dan retribusi daerah serta menyelaraskan
perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota dan antara Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
PP
No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Pusat terkait dengan
kewenangan Gubernur, mengatur sebagai berikut:
Tabel 1
Kewenangan
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
No
|
Klasifikasi
|
Pengaturan Kewenangan Gubernur
|
1.
|
Dalam
melaksanakan pembinaan dan pengawasan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
|
a.
mengoordinasikan
pembinaan dan pengawasan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota;
b.
melakukan
monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; dan memfasilitasi daerah;
c.
memberdayakan
dan memfasilitasi daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.
melakukan evaluasi terhadap rancangan
peraturan daerah kabupaten/kota tentang jangka panjang daerah,rencana rencana
pembangunan jangka menengah daerah, anggaran dan belanja daerah, perubahan
anggaran pendapatan dan belanja daerah, anggaran pendapatan belanja daerah,
tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusidaerah;
e.
melakukan
pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/ kota; dan
f.
tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
2.
|
Dalam
melaksanakan tugas gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
|
a.
membatalkan
peraturan bupati/wa1i kota;
b.
memberikan
penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan
penyelenggaraan daerah;
c.
menyelesaikan
perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antardaerah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
d.
Memberikan
persetujuan terhadap rancangan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan dan
susunan perangkat daerah kabupaten/kota; dan
e.
melaksanakan
wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
3
|
Tugas
Gubernur Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan
|
a.
menyelaraskan
perencanaan pembangunan antardaerah kabupaten/kota dan antara daerah
provinsi dan daerah kabupaten/kota di
wilayahnya;
b.
mengoordinasikan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota dan antardaerah kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya;
c.
memberikan
rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas usulan dana alokasi khusus pada
daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.
melantik
bupati/wali kota;
e.
memberikan
persetujuan pembentukan instansi vertikal di wilayah provinsi kecudi
pembentukan instansi vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut
dan pembentukan instansi vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara
tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
f.
melantik
kepala instansi vertikal dari kementerian dan lemb"ga pemerintah
nonkementerian yang ditugaskan di wilayah daerah provinsi yang bersangkutan
kecuali untuk kepala instansi vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan
absolut dan kepala instansi vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang
nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan
g.
melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
|
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, peran gubernur sebagai kepala daerah otonom
dalam pasal ayat (1) dan sebagai wakil
pemerintah pusat pasal 91 ayat (2) meliputi:
Pasal 65 :
(1) Kepala daerah mempunyai tugas:
a. memimpin
pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama
DPRD;
b. memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat;
c. menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD
kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
d. d. menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan
APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD untuk dibahas bersama;
e. mewakili
Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f.
mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah;
dan
g. melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91 :
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat mempunyai tugas:
a. mengoordinasikan
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah
kabupaten/kota;
b. melakukan
monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c. memberdayakan
dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d. melakukan
evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak
daerah, dan retribusi daerah;
e. melakukan
pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan
f.
melaksanakan tugas lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
C.
Kewenangan
Atribusi, Delegasi dan Mandat Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan
Mencermati karakter dari pemberian
kewenangan kepada Gubernur berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, terlihat terdapat
3 (tiga) karakter sekaligus dari wewenang yang diberikan kepada Gubernur, yaitu
atribusi, delegasi dan mandat. Maka, perlu dilakukan analisis berdasarkan Hukum
Administrasi Negara terhadap karakter dari kewenangan yang diberikan kepada
Gubernur. Dalam Undang-Undang No.30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan telah diatur definisi stipulatif
dari Atribusi, Delegasi, dan Mandat dalam Pasal 1 angka 22, 23 dan 24. Atribusi
adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah
dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi. Sedangkan mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap
berada pada pemberi mandat.
Bagan
2
Sumber
Kewenangan Dalam Hukum Administrasi Negara
Kewenangan
Gubernur sebagai Kepala Daerah
1. Berdasarkan Kewenangan Atribusi
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jelas mengatakan
bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota mesing-masing sebagai kepala Pemerintahan
daerah Provinsi, kabupaten, dan Kota dipilih secara Demokratis. Pasal 18 ayat
(6) juga mengatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
Daerah dan Peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan yang kemudian diperjelas dalam Pasal 240 ayat (2) UU No.23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa
Penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Dalam
hal ini bahwa gubernur diberi wewenang untuk membuat perda.
Dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2014 mengenai atribusi dapat
disimpulkan bahwa kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai pembuat
peraturan daerah tampak bahwa wewenang diperoleh secara atribusi bersifat asli
yang berasal dari Peraturan Perundang-Undangan. Dengan kata lain, gubernur
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal dalam Peraturan
perundang-undangan yaitu UUD tahun 1945 dan UU No.23 Tahun 2014.
2. Berdasarkan
Kewenangan Delegasi
Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 membedakan antara urusan
pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan
Umum. Ayat (1) mengatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Ayat (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ayat
(3) Urusan pemerintahan konkruen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
urusan pemerintahan yang dibagi antara pemrintah pusat dan daerah provinsi dan
Kabupaten/Kota. Ayat (4) Urusan Pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Ayat (5) Urusan Pemerintahan Umum
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Pasal 11 dan 12 UU No.23 Tahun 2014 menjabarkan lebih lanjut mengenai
urusan pemerintahan konkuren yaitu :
Pasal 11 :
(1)
Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di
maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2)
Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
(3)
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12 :
(1) Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a.
pendidikan;
b.
kesehatan;
c.
pekerjaan umum dan penataan ruang;
d.
perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e.
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan
f.
sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a.
tenaga kerja;
b.
pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c.
pangan;
d.
pertanahan;
e.
lingkungan hidup;
f.
administrasi kependudukan dan pencatatan
sipil;
g.
pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h.
pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i.
perhubungan;
j.
komunikasi dan informatika;
k.
koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l.
penanaman modal;
m.
kepemudaan dan olah raga;
n.
statistik; o. persandian;
o.
kebudayaan;
p.
perpustakaan; dan
q.
kearsipan.
(3) Urusan
Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a.
kelautan dan perikanan;
b.
pariwisata;
c.
pertanian;
d.
kehutanan;
e.
energi dan sumber daya mineral;
f.
perdagangan;
g.
perindustrian; dan
h.
transmigrasi.
Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2014 sehubungan dengan konsep Delegasi
yang telah dijabarkan sebelumnya, tampak bahwa wewenang Gubernur diperoleh
secara delegasi. Hal terlihat dari desain mengenai urusan pemerintahan
konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemrintahan pusat dan
daerah provinsi dan Urusan Pemerintahan konkruen yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi
kewenangan Daerah seperti pendidikan; kesehatan, pekerjaan umum dan penataan
ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman; ketertiban umum
dan pelindungan masyarakat, sosial dan lain sebagainya yang sesungguhnya hal
tersebut sudah diletakkan di bawah kewenangan masing-masing kementerian sektoral
yang dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun dilimpahkan
kepada pemerintahan daerah, dalam hal ini termasuk Gubernur, yang maknanya dalam Hukum Administrasi Negara
tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada kewenangan pemberi delegasi,
tetapi beralih kepada Gubernur selaku penerima delegasi (delegataris) dan selaku
kepala pemerintahan daerah provinsi.
3.
Kewenangan Mandat
Pasal 91 ayat (1) sampai ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah mengatur bahwa :
(1)
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/kota, Presiden
dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2)
Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai tugas:
a.
mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota;
b.
melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di
wilayahnya;
c.
memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota
di wilayahnya;
d.
melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota
tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah;
e.
melakukan pengawasan terhadap Perda
Kabupaten/Kota; dan
f.
melaksanakan tugas lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
mempunyai wewenang:
a.
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/wali kota;
b.
memberikan penghargaan atau sanksi kepada
bupati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
c.
menyelesaikan perselisihan dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi;
d.
memberikan persetujuan terhadap rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah
kabupaten/kota; dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4)
Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai
tugas dan wewenang:
a.
menyelaraskan perencanaan pembangunan antar Daerah kabupaten/kota dan antara Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
b.
mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dan antar-Daerah
kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
c.
memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat
atas usulan DAK pada Daerah kabupaten/kota di wilayahnya;
d.
melantik bupati/wali kota;
e.
memberikan persetujuan pembentukan Instansi
Vertikal di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk
melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f.
melantik kepala Instansi Vertikal dari
kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah
Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi Vertikal yang
melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan kepala Instansi Vertikal yang
dibentuk oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 92 UU No.23 tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa Dalam hal gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) sampai dengan ayat (4), Menteri mengambil alih
pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 mengenai mandat yang telah
diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kewenangan Gubernur juga diperoleh
secara mandat, karena Gubernur sebagai penerima mandat (mandataris) hanya bertindak
atas nama pemberi mandat (mandans) dalam hal ini pemerintah Pusat, tanggung
jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada pemberi mandat
(mandans).
Mengacu pada karakter kewenangan yang dberikan kepada Gubernur
berdasarkan 3 (tiga) teori sumber kewenangan dalam Hukum Administrasi Negara
tersebut, dapat direkomendasikan bahwa hubungan antara Pemerintah Pusat (dhi.
Menteri Sektoral) dengan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat sekaligus
selaku Kepala Daerah Provinsi perlu didasarkan atas hal-hal berikut:
1.
Batas kewenangan Menteri dalam melaksanakan
kewenangan intervensi, supervisi maupun rekognisi harus disesuaikan dan
memperhatikan karakter dari kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Pada
kewenangan delegasi (Pasal 11 dan 12 UU No. 23 Tahun 2014), Menteri sektoral
hanya diperkenankan sebatas menjalankan kewenangan supervisi dan rekognisi.
Pada kewenangan gubernur yang berkarakter mandat (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat
(4), kewenangan Menteri sektoral bisa melakukan intervensi dalam hal kewenangan
yang seharusnya dilaksanakan oleh Gubernur dilalaikan.
2.
Diperlukan NSPK (UU No. 23 Tahun 2014) atau
Standar Operasional Prosedur (UU Administrasi Pemerintah) untuk menata hubungan
Menteri Sektoral dengan Gubernur terkait dengan kewenangan yang berkarakter
delegasi dan mandat.
3.
Menteri Dalam Negeri perlu memfasilitasi
sistem penataan hubungan kewenangan antara Pusat (Menteri Sektoral) dengan
Gubernur dalam konteks hubungan kewenangan Pusat dan Daerah.
D. Desain Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
Bagan 3
Hubungan
Kekuasaan Pemerintah Pusat dan Daerah
Latar belakang perlunya ditetapkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014, antara lain: (a) Menjamin efektifitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) Menata manajemen
pemerintahan daerah yang lebih responsive, akuntabel, transparan, dan efesien;
(c) Menata keseimbangan tanggung jawab antar tingkatan/susunan pemerintahan
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan; (d) Menata pembentukan daerah agar
lebih selektif sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah; dan (e) Menata
hubungan pusat dan daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagan
4
Isu
Strategis UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 merubah wajah hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah yang dijalankan selama
ini semata-mata hanya dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk masyarakat. Padahal substansi penting dari
otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik
dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil
dan merata di daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014. Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib Daerah, dan
pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/
Kota yang langsung dimasukkan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014,
tidak dibuat menjadi Peraturan Pemerintah seperti pada Undang-Undang Nomor
32Tahun 2004 (Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007) yang mengatur hubungan
Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah).[7]
Otonomi daerah yang dijalankan selama ini semata-mata hanya
dipahami sebagai perpindahan kewajiban pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk masyarakat. Padahal substansi penting dari otonomi daerah adalah
pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di
daerah. Sehingga konsep otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini yang ditekankan lebih tajam dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014. Perubahan yang mendasar lain yang tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 ialah ditetapkannya Urusan Wajib Daerah, dan pola hubungan Urusan
Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang langsung
dimasukkan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diklasifikasi urusan Pemerintahan terdiri
atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah masih mengarah pada desentralisasi, dilihat dari
adanya pembagian urusan meskipun diklasifikasikan secara rinci ke dalam 3
urusan pemerintahan.[8]
Kewenangan pemerintah provinsi disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU no. 23
Tahun 2014 yang meliputi; a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan
sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi; 5.
Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (4) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya
dalam Daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam
Daerah kabupaten/kota; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak
negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/ atau; d. Urusan Pemerintahan
yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah
kabupaten/kota.
Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni[9]:
Pertama, The relative Autonomy Model,
memberikan kebebasan yang relatif besar kepada pemerintah daerah dengan tetap
menghormati eksistensi pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian
kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan
tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan; kedua The Agency Model. Model dimana
pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga
keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang bertugas untuk
menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada model ini
berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme kontrol
sangat menonjol. Pada model ini pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan
sistem keuangan daerahnya didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat; ketiga
The Interaction Model. Merupakan
suatu bentuk model dimana keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan
oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan sebagian kewenangan
eksekutif dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, yang dalam Pasal 9 UU No. 23
Tahun 2014 diatur bahwa Urusan pemerintahan Konkuren inilah yang menjadi dasar
Otonomi Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren yang diserahkan meliputi Urusan
Wajib dan Urusan Pilihan. Pada Urusan Wajib ada Urusan Wajib Pelayanan dasar
dan Urusan Wajib Non Pelayanan Dasar. Berdasarkan pembagian urusan kewenangan
tersebut, merujuk pada teori Model Hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah secara teoritis menurut Clarke dan Steward masih dapat
diklasifikasikan sebagai The Agency Model.
Model dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti
sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang
bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya pada
model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundangan sebagai mekanisme
kontrol sangat menonjol.[10]
Namun, pelaksanaan kewenangan Menteri Sektoral dalam hubungannya dengan
Gubernur harus dikaitkan dengan karakter dari kewenangan yang diberikan kepada
Gubernur.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren tersebut berdasarkan
Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2014 didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi,
dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Prinsip akuntabilitas
dimaksudkan bahwa Penanggungjawabnya berdasarkan kedekatannya dengan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
Urusan Pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan prinsip efisiensi adalah
Perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
Sedangkan Prinsip eksternalitas merupakan Luas, besaran, dan jangkauan dampak
yang timbul akibat penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan. Dan Prinsip
kepentingan strategis nasional bahwa dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan
bangsa, kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian
program strategis nasional dan pertimbangan lain.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, masih menerapkan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan
pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum
(pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah
Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masih sama kedudukannya
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari
penyelenggara pemerintahan daerah.
Mengacu pada pola hubungan Pusat dan Daerah tersebut,
diperlukan adanya pemahaman bersama antara pusat dan daerah mengenai filosofi
dan tujuan desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014
yang pada hakikatnya untuk melakukan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah
secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung
secara adil dan merata di daerah. Kegagalan Gubernur untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengamankan aset
dan sumber daya alam di daerah bisa berdampak terhadap kegagalan dalam
merealisasikan tujuan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU No.
23 Tahun 2014 yang bisa menimbulkan terjadinya potential loss. Hal itu harus diatasi dengan memahami secara utuh
filosofi dan tujuan otonomi daerah sebagaimana digariskan oleh UU No. 23 Tahun
2014.
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memperluas kewenangan yang berkaitan
terhadap kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam menjalankan
pemerintahan di daerah dibandingkan UU No. 32 Tahun 2004 yang hanya berwenang
dalam hal pembinaan, pengawasan, dan koordinasi saja. Dalam ketentuan Pasal 91
UU No. 23 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
memiliki wewenang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedudukan
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat diperkuat dengan adanya UU No. 23 Tahun
2014 antara lain Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat melakukan
evaluasi dalam proses legislasi dan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat membatalkan
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota, serta
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dapat menjatuhkan sanksi kepada
Bupati/Walikota terkait penyelenggara pemerintahan di daerah kabupaten/kota
yang tidak melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik. Hal ini dilakukan
guna meningkatkan koordinasi yang baik antara Gubernur selaku wakil pemerintah
pusat dengan Bupati/Walikota sebagai daerah otonom.[11] Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 telah meletakkan provinsi dalam kedudukan yang bersifat
ganda. Satu sisi provinsi ditempatkan sebagai daerah otonom yang berfungsi
menjalankan kewenangan desentralisasi pada sisilain merupakan perpanjangan
tangan pusat yang berfungsi menjalankan kewenangann dekonsentrasi diwilayah
regional. Kedudukan provinsi sebagai daerah otonom (desentralisasi) dan
perpanjangan tangan pusat (dekonsentrasi) dipegang seorang pejabat yaitu
gubernur.[12]
Hal-hal tersebut memberikan justifikasi untuk memperkuat posisi gubernur dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus mengatur kriteria dan
persyaratan bagi penggunaan kewenangan Kementerian Sektoral dalam melaksanakan
intervensi maupun anulasi atas pelaksanaan kewenangan gubernur dalam konteks 3
(tiga) jenis karakter dari kewenangan yang diberikan kepada gubernur
berdasarkan Hukum Administrasi Negara.
Bagan
4
Peran
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
E. Rekomendasi
Berdasarkan
analisis di atas dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:
1.
Batas kewenangan Menteri dalam melaksanakan
kewenangan intervensi, supervisi maupun rekognisi harus disesuaikan dan
memperhatikan karakter dari kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Pada
kewenangan delegasi (Pasal 11 dan 12 UU No. 23 Tahun 2014), Menteri sektoral
hanya diperkenankan sebatas menjalankan kewenangan supervisi dan rekognisi.
Pada kewenangan gubernur yang berkarakter mandat (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat
(4), kewenangan Menteri sektoral bisa melakukan intervensi dalam hal kewenangan
yang seharusnya dilaksanakan oleh Gubernur dilalaikan.
2.
Diperlukan NSPK (UU No. 23 Tahun 2014) atau
Standar Operasional Prosedur (UU Administrasi Pemerintah) untuk menata hubungan
Menteri Sektoral dengan Gubernur terkait dengan kewenangan yang berkarakter
delegasi dan mandat.
3.
Menteri Dalam Negeri perlu memfasilitasi
sistem penataan hubungan kewenangan antara Pusat (Menteri Sektoral) dengan
Gubernur dalam konteks hubungan kewenangan Pusat dan Daerah.
4.
Substansi penting dari otonomi daerah adalah
pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di
daerah.
5.
Mengacu pada pola hubungan Pusat dan Daerah
tersebut, diperlukan adanya pemahaman bersama antara pusat dan daerah mengenai
filosofi dan tujuan desentralisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23
Tahun 2014 yang pada hakikatnya untuk melakukan pelimpahan kewenangan dari
pusat ke daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah.
6.
Kegagalan Gubernur untuk mengoptimalkan
pelaksanaan kewenangan sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengamankan aset
dan sumber daya alam di daerah bisa berdampak terhadap kegagalan dalam
merealisasikan tujuan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU No.
23 Tahun 2014 yang bisa menimbulkan terjadinya potential loss. Hal itu harus diatasi dengan memahami secara utuh
filosofi dan tujuan otonomi daerah sebagaimana digariskan oleh UU No. 23 Tahun
2014.
Kaki Merapi, 14 Desember 2019
[1]
Paper yang disampaikan dalam FGD yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di Hotel Gran Senyiur
Balikpapan Kalimantan Timur, 19 Desember 2019.
[2]
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
[3]
Cornelis Lay dalam Kaho, Josef Riwu, 2003. Prospek Otonomi Daerah di Negara
Republik Indonesia. Rajawali Press, Jakarta.
[4]
Dinoroy Marganda Aritonang dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13 N0. 01 -
Maret 2016 : 41 - 52 berjudul “Pola
Distribusi Urusan Pemerintah Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”,
[5]
Miller, Keith L, 2002. Advantages and Disadvantages of Local Government
Decentralization http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/dow
nload?doi=10.1.1.134.5990&rep=rep1&type=pdf (diunduh tanggal 2 Desember
2015), hlm. 3.
[6]
Jaka Mirdinata dalam https://mirdinatajaka.blogspot.com/2017/05/perluasan-kewenangan-gubernur-menurut.html
[7] Septi Nur Wijayanti, Hubungan Antara
Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, artikel dalam Jurnal Media Hukum VOL.23 NO.2
/ DESEMBER 2016
[8]
Ibid.
[9]
Nihmatul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusa Media, 2009, hal. 248.
[10]
Septi Nur Wijayanti, Op.Cit. hal. 195.
[11]
Jaka Mirdinata, Loc.Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar