Ikhwal Pilar Produksi yang Rapuh
W RIAWAN TJANDRA, Pengamat filsafat hukum, mengajar di FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
Kasus perbudakan “buruh panci” di
kawasan Tangerang merupakah sebuah fenomena tragis dan sebuah tragedi
kemanusiaan di negeri yang pascaamandemen konstitusinya menisbatkan berbagai
proteksi terhadap Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28A-J UUD 1945. Kisah
perbudakan modern tersebut juga merupakan suatu ironi karena terjadi di era
keterbukaan informasi, demokrasi dan nyaris tak ada sesuatu kejadian pun yang
lepas dari bidikan kamera media.
Buruh
dalam berbagai literatur pastilah dinisbatkan sebagai unsur utama siklus proses
produksi, namun realitas kedudukannya dalam relasi industri selalu berada dalam
struktur yang selalu tak seimbang berhadapan dengan modal dan pengusaha. Relasi
kekuasaan dalam organisasi produksi selalu meletakkan buruh di bawah hegemoni
kuasa modal dan tarikan kepentingan politik elite-elite politik yang berakar
dari syahwat berkuasa dalam berbagai kontestasi politik.
Gerakan buruh pada hakikatnya
berangkat dari keinginan untuk mencari saluran simetris yang dapat menyeimbangkan
relasi kekuasaan dalam proses produksi yang selama ini selalu menempatkan buruh
sebagai pecundang dalam berbagai collective
bargaining yang tidak seimbang di antara pilar-pilar tripartit
(negara-pengusaha-buruh). Relasi kekuasaan yang tidak seimbang diantara
pilar-pilar tripartit belum mampu menghasilkan keseimbangan sosial (social equilibrium), karena penentuan
kebijakan ketenagakerjaan selalu berporos pada kuasa politik (negara) maupun
kuasa ekonomi (pemodal/pengusaha).
Di
balik hal itu kuasa ekonomi pengusaha juga berada di bawah tekanan kepentingan
politik kuasa aktor-aktor politik yang tak jarang demi mendulang suara
konstituen di awal kontestasi pemilu/pemilukada membuat kebijakan yang
seolah-olah berpihak kepada buruh dalam penetapan Upah Minimum Regional. Namun,
di saat syahwat berkuasa telah terpuaskan, berbagai kebijakan ketenagakerjaan
tak lagi berpihak kepada buruh dan berbalik menguntungkan pengusaha sebagai alat
pengembalian modal dalam memperjuangkan kursi kuasa politik. Akibatnya, siklus
korupsi politik dan korupsi birokrasi selalu berulang searah dengan siklus masa
jabatan politik para elite di ranah legislatif maupun eksekutif. Siklus
perputaran jabatan politik selalu dibiayai oleh hasil rente birokrasi yang
menekan proses produksi karena menempatkan pemodal/pengusaha sebagai sumber
dana (baca: ATM Berjalan) untuk menopang kuasa politik.
John Locke pernah berpendapat bahwa pekerjaan
merupakan sumber untuk memperoleh hak miliki pribadi. Hampir senada dengan
pendapat itu, Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa
manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Dalam dimensi aksiologis,
Karl Marx, murid Hegel bahkan berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sarana
manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan.
Seluruh pandangan itu nyaris kehilangan kesahihannya ketika relasi industri di
negeri yang terjerat dalam jebakan high
cost democracy telah menggiring relasi produksi menjadi bagian dari
banalitas sistem kleptopolitik. Akibatnya, para elite politik justru menjadi
pemain bayangan yang selalu mengambil keuntungan dari relasi tak sehat
tripartit.
Pola efisiensi yang menjadi rantai pengikat
dalam proses produksi telah mengubah produksi menjadi sebuah perbudakan modern
(modern slavery) dan menghilangkan
dimensi aksiologis maupun epistemologis pekerjaan yang pernah dikemukakan oleh
Locke, Hegel dan Marx. Akibatnya, relasi industri tak pernah beranjak jauh dari
tesis Adam Smith di abad ke-18 mengenai falsafah persaingan bebas (free fight liberalism) yang berdampak
pada konflik laten antara pengusaha-pekerja dalam relasi industri. Campur
tangan negara tak lebih dari sebuah upaya untuk memastikan agar konflik
tersebut tak mengganggu stabilitas eksistensinya. Maka, Marx di masa lalu,
selalu bersikap kritis terhadap relasi industri tersebut, karena menurut teori
nilai lebih dari Karl Marx sejatinya pengusaha tidak pernah membayar upah buruh
sesuai dengan tenaganya, karena sebagian dari upah buruh diambil oleh pengusaha
(yang disebutnya dengan nilai lebih) yang menyebabkan pengusaha bertambah kaya
dan buruh kian tertindas. Guna mengatasi hal itu Marx menganjurkan agar buruh
bersatu mengubah relasi tak seimbang tersebut yang melahirkan teori perjuangan
kelas.
Hubungan asimetris dalam relasi produksi perlu
ditataulang dengan mengonstruksi relasi produksi berdasarkan collective bargaining yang berkeadilan
dalam relasi tripartit sambil membenahi carut marut sistem politik di negeri
ini. Pilar poduksi yang rapuh dalam kegagalan sistem bernegara hanya dapat
dibenahi dengan memastikan terwujudnya keadilan sosial yang diamanatkan sejak
republik ini didirikan sekian tahun silam. Kisah buruh panci semestinya menjadi
penutup dari litani eksploitasi buruh yang kini di berbagai negara harus
ditempatkan dalam posisi yang seimbang dalam kerangka checks and balances dengan pengusaha dalam proses produksi. Buruh
adalah bagian yang sangat penting di negeri ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar