Minggu, 03 Mei 2020


Ikhwal Pilar Produksi yang Rapuh
W RIAWAN TJANDRA, Pengamat filsafat hukum, mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Kasus perbudakan “buruh panci” di kawasan Tangerang merupakah sebuah fenomena tragis dan sebuah tragedi kemanusiaan di negeri yang pascaamandemen konstitusinya menisbatkan berbagai proteksi terhadap Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28A-J UUD 1945. Kisah perbudakan modern tersebut juga merupakan suatu ironi karena terjadi di era keterbukaan informasi, demokrasi dan nyaris tak ada sesuatu kejadian pun yang lepas dari bidikan kamera media.
Buruh dalam berbagai literatur pastilah dinisbatkan sebagai unsur utama siklus proses produksi, namun realitas kedudukannya dalam relasi industri selalu berada dalam struktur yang selalu tak seimbang berhadapan dengan modal dan pengusaha. Relasi kekuasaan dalam organisasi produksi selalu meletakkan buruh di bawah hegemoni kuasa modal dan tarikan kepentingan politik elite-elite politik yang berakar dari syahwat berkuasa dalam berbagai kontestasi politik.
            Gerakan buruh pada hakikatnya berangkat dari keinginan untuk mencari saluran simetris yang dapat menyeimbangkan relasi kekuasaan dalam proses produksi yang selama ini selalu menempatkan buruh sebagai pecundang dalam berbagai collective bargaining yang tidak seimbang di antara pilar-pilar tripartit (negara-pengusaha-buruh). Relasi kekuasaan yang tidak seimbang diantara pilar-pilar tripartit belum mampu menghasilkan keseimbangan sosial (social equilibrium), karena penentuan kebijakan ketenagakerjaan selalu berporos pada kuasa politik (negara) maupun kuasa ekonomi (pemodal/pengusaha).
Di balik hal itu kuasa ekonomi pengusaha juga berada di bawah tekanan kepentingan politik kuasa aktor-aktor politik yang tak jarang demi mendulang suara konstituen di awal kontestasi pemilu/pemilukada membuat kebijakan yang seolah-olah berpihak kepada buruh dalam penetapan Upah Minimum Regional. Namun, di saat syahwat berkuasa telah terpuaskan, berbagai kebijakan ketenagakerjaan tak lagi berpihak kepada buruh dan berbalik menguntungkan pengusaha sebagai alat pengembalian modal dalam memperjuangkan kursi kuasa politik. Akibatnya, siklus korupsi politik dan korupsi birokrasi selalu berulang searah dengan siklus masa jabatan politik para elite di ranah legislatif maupun eksekutif. Siklus perputaran jabatan politik selalu dibiayai oleh hasil rente birokrasi yang menekan proses produksi karena menempatkan pemodal/pengusaha sebagai sumber dana (baca: ATM Berjalan) untuk menopang kuasa politik.
 John Locke pernah berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak miliki pribadi. Hampir senada dengan pendapat itu, Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Dalam dimensi aksiologis, Karl Marx, murid Hegel bahkan berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan. Seluruh pandangan itu nyaris kehilangan kesahihannya ketika relasi industri di negeri yang terjerat dalam jebakan high cost democracy telah menggiring relasi produksi menjadi bagian dari banalitas sistem kleptopolitik. Akibatnya, para elite politik justru menjadi pemain bayangan yang selalu mengambil keuntungan dari relasi tak sehat tripartit.
Pola efisiensi yang menjadi rantai pengikat dalam proses produksi telah mengubah produksi menjadi sebuah perbudakan modern (modern slavery) dan menghilangkan dimensi aksiologis maupun epistemologis pekerjaan yang pernah dikemukakan oleh Locke, Hegel dan Marx. Akibatnya, relasi industri tak pernah beranjak jauh dari tesis Adam Smith di abad ke-18 mengenai falsafah persaingan bebas (free fight liberalism) yang berdampak pada konflik laten antara pengusaha-pekerja dalam relasi industri. Campur tangan negara tak lebih dari sebuah upaya untuk memastikan agar konflik tersebut tak mengganggu stabilitas eksistensinya. Maka, Marx di masa lalu, selalu bersikap kritis terhadap relasi industri tersebut, karena menurut teori nilai lebih dari Karl Marx sejatinya pengusaha tidak pernah membayar upah buruh sesuai dengan tenaganya, karena sebagian dari upah buruh diambil oleh pengusaha (yang disebutnya dengan nilai lebih) yang menyebabkan pengusaha bertambah kaya dan buruh kian tertindas. Guna mengatasi hal itu Marx menganjurkan agar buruh bersatu mengubah relasi tak seimbang tersebut yang melahirkan teori perjuangan kelas.
Hubungan asimetris dalam relasi produksi perlu ditataulang dengan mengonstruksi relasi produksi berdasarkan collective bargaining yang berkeadilan dalam relasi tripartit sambil membenahi carut marut sistem politik di negeri ini. Pilar poduksi yang rapuh dalam kegagalan sistem bernegara hanya dapat dibenahi dengan memastikan terwujudnya keadilan sosial yang diamanatkan sejak republik ini didirikan sekian tahun silam. Kisah buruh panci semestinya menjadi penutup dari litani eksploitasi buruh yang kini di berbagai negara harus ditempatkan dalam posisi yang seimbang dalam kerangka checks and balances dengan pengusaha dalam proses produksi. Buruh adalah bagian yang sangat penting di negeri ini!


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...