Hakikat Legislasi
Oleh:
W. Riawan Tjandra
Pengajar
FH UAJY
Legislasi yang selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ).
Sering arti legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk
undang-undang sebagai primary legislation,
yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat
peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary
legislation melalui proses regulasi. Namun, sering kedua istilah tersebut
(legislasi dan regulasi) disamakan artinya, karena memang pengertian legislasi
dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa legislasi
dalam arti luas termasuk pula pembentukan Peraturan Pemerintah dan
peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws). Dalam proses legislasi pembentukan undang-undang
(legislative act, parliament act, Act of Parliament)
melibatkan badan perwakilan. Fungsi legislasi dilakukan oleh badan legislatif
baik secara sendiri-sendiri atau “together with the head of State).
Regulasi
sendiri sejatinya memiliki makna proses
menetapkan peraturan umum oleh badan eksekutif atau badan yang memiliki
kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan
delegasian (delegation of legislative power, delegation of rule making power,
delegatie van wetgevendemacht). Dalam regulasi tidak melibatkan
pihak legislatif, hanya saja dalam pembentukannya harus berdasar pada ketentuan
undang-undang. Sebagai contoh, dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (2), tentang
kekuasaan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan
undang-undang. Kewenangan tersebut dikenal dengan ”pouvoir
reglementaire” atau ”kekuasaan pengaturan”.Dalam Undang-undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal
pula bentuk Peraturan Presiden (Perpres), sebagai peraturan delegasian dari
undang-undang dan atau dari Peraturan Pemerintah.
Proses
legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan sebagai
pedoman perilaku (the guidance of
behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian
dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Jadi, hakikat dari proses legislasi
adalah proses pelembagaan nilai yang dapat dipergunakan sebagai ukuran
baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dapat
dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan (legal and order).
Tak
dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos) dilakukan melalui suatu proses
legislasi yang dilakukan oleh parlemen sebagai lembaga politik dan di beberapa
negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif. Proses yang sarat dengan muatan
politik tersebut yang selama ini dikesankan bahwa undang-undang sebagai primary legislation adalah produk
politik. Pemaknaan bahwa undang-undang merupakan suatu produk politik merupakan
pemaknaan yang mengacu pada proses legislasi suatu undang-undang. Namun,
pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari hakikat makna dari legislasi
untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika
makna legislasi dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada prosesnya dapat berimplikasi makna
legislasi sekedar direduksi sekedar sebagai hasil dari proses tawar menawar
politik (political bargaining) yang
mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal kedua inilah
yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini. Proses
legislasi hanya dijadikan sebagai arena transaksi kepentingan yang rentan
dengan infiltrasi dari berbagai variabel internal/eksternal yang memiskinkan
makna legislasi seperti: ekonometri sempit dari para legislator yang hanya
berkalkulasi mengenai untung/rugi biaya legislasi bagi kocek
pribadinya/fraksinya/kepentingan politik atau ekonomis parsial, pertimbangan
sempit terhadap biaya dan pengaruh sosial produk hukum oleh para legislator,
tekanan modal asing dalam proses legislasi, melegislasi kepentingan parsial
mengatasnamakan kepentingan umum, dan seterusnya.
Mencermati hakikat dari legislasi
tersebut, tak salah jika ada penilaian bahwa perubahan UU No. 10 Tahun 2004
menjadi UU No. 12 Tahun 2011 tak ubahnya hanya bergerak pada wilayah
administratif-prosedural proses legislasi dengan sedikit polesan/kemasan
khususnya pada bagian lampiran mengenai penyusunan Naskah Akademik, daripada
upaya untuk mengembalikan hakikat makna legislasi sebagai proses pelembagaan
nilai. Sedikit catatan pula terhadap pengaturan mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut yang tak lepas
dari pandangan mengenai stufenbau des
recht-nya Hans Kelsen, tak mampu berbuat banyak untuk memberi tempat
terhadap hukum-hukum adat yang sebenarnya merupakan hukum asli dari berbagai
suku-suku bangsa nusantara yang berhimpun dalam NKRI ini. Kuatnya paradigma
positivisme dalam sistem legislasi di negeri ini sebagai warisan kolonialisasi
acapkali diperparah dengan cara pandang para hakim di wilayah yudikatif yang
selama ini lebih banyak berperan sebagai “corong undang-undang” (bouche de la loi) daripada menjadi para
hakim progresif yang bisa menghasilkan putusan yang memiliki bobot nilai
keadilan tinggi sebagai suatu landmark
decision. Peradilan untuk Prita Mulyasari versus RS OMNI Internasional,
nenek Minah versus korporasi pemilik lahan kakao yang konon di masa lalu
tanah-tanah yang dikuasai para korporat itu merupakan milik adat penduduk
setempat yang dianeksasi rezim militer semasa ORBA, peradilan AAL “pencuri
sandal” di PN Kota Palu-Sulawesi Tengah, anak idiot yang gara-gara didakwa
mencuri beberapa tandan pisang diproses hukum, orang yang dipidana gara-gara
didakwa mencuri 2 batang bambu dan sejenisnya merupakan contoh-contoh proses
peradilan yang defisit keadilan.
Mencermati berbagai kelemahan
praktik legislasi yang selama ini telah mencabut akar makna sejati dari
legislasi untuk melembagakan suatu nilai (nomos),
diperlukan adanya revolusi paradigma dalam proses legislasi. Legislasi harus
dikembalikan pada makna sejatinya dan itu berarti menghendaki para legislator
yang mampu mengedepankan sikap kenegarawanan, bukan hanya sekedar segerombolan
politisi yang mencari makan di gedung miring senayan. Proses revisi UU APBN
dengan melakukan amandemen
terhadap UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN melalui penambahan ayat (6A) pada
Pasal 7 UU APBN yang berujung pada
pemberian diskresi bagi pemerintah untuk bisa menaikan atau menurunkan harga
BBM bersubsidi jika terjadi deviasi ICP 5% di atas asumsi US$105 per barel di
RAPBNP, merupakan contoh proses legislasi yang lebih sarat muatan kepentingan
tanpa mengindahkan teori dan prinsip-prinsip dalam pembentukan materi muatan
sebuah undang-undangan yang baik. Amandemen terhadap UU APBN tersebut kemudian juga
dimaksudkan untuk menambahkan beberapa klausul baru, seperti Pasal 7 ayat (1)
A, Pasal 8A, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 A dan B dan Pasal 20 ayat (1).
Dalam telaah filsafat legislasi,
sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max Weber harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tegolong legitimate manakala didalamanya
mengandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu mendorong kepatuhan. Ketika
seseorang mematuhi produk hukum bukan karena kepentingan diri namun karena
kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah produk hukum, disitulah suatu
produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi memiliki legitimasi.
Proses legislasi yang dilaksanakan
oleh badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri ini harus sampai pada
upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki legitimasi yang
didalamnya terkandung nilai (nomos).
Semua itu tentunya menghendaki para legislator yang mampu menjadi
panutan/teladan dalam perilaku maupun pelaksanaan fungsinya sebagai wakil
rakyat. Para wakil rakyat yang bermasalah dan kemudian bertindak sebagai
legislator hanya akan menghasilkan proses legislasi yang bermasalah dengan
berbagai produk hukum yang sebenarnya hanya menjadi bukti kasat mata dari
kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi baju hukum dan agar “berkesan”
sebagai sebuah norma maka kepadanya diatasnamakan “kepentingan rakyat.”
Para legislator perlu belajar kembali pada
pandangan Plato dan Socrates mengenai para pemimpin negara (the rulers). Menurut mereka para
penguasa termasuk legislator harus terdiri dari mereka yang bijak (the philosoper king) yang berhasrat
untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan (good)
dan hidup yang baik (good life)
serta kepentingan umum. Dengan
demikian keadilan akan hidup dalam negara dan keadilan itu harus memerintah serta menjelma dalam negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar