Minggu, 03 Mei 2020


 Hakikat Legislasi
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar FH UAJY
            Legislasi yang selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ). Sering arti legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi. Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya, karena memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws).  Dalam proses legislasi pembentukan undang-undang (legislative act, parliament act, Act of Parliament)  melibatkan badan perwakilan. Fungsi legislasi dilakukan oleh badan legislatif baik secara sendiri-sendiri atau “together with the head of State).
            Regulasi sendiri sejatinya memiliki makna proses menetapkan peraturan umum oleh badan eksekutif atau badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan delegasian (delegation of legislative power, delegation of rule making power, delegatie van wetgevendemacht). Dalam regulasi tidak melibatkan pihak legislatif, hanya saja dalam pembentukannya harus berdasar pada ketentuan undang-undang.  Sebagai contoh, dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (2), tentang kekuasaan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang. Kewenangan tersebut dikenal dengan ”pouvoir reglementaire” atau ”kekuasaan pengaturan”.Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal pula bentuk Peraturan Presiden (Perpres), sebagai peraturan delegasian dari undang-undang dan atau dari Peraturan Pemerintah.
            Proses legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan sebagai pedoman perilaku (the guidance of behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Jadi, hakikat dari proses legislasi adalah proses pelembagaan nilai yang dapat dipergunakan sebagai ukuran baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan dilakukan oleh seseorang yang dapat dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan (legal and order).
            Tak dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos) dilakukan melalui suatu proses legislasi yang dilakukan oleh parlemen sebagai lembaga politik dan di beberapa negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif. Proses yang sarat dengan muatan politik tersebut yang selama ini dikesankan bahwa undang-undang sebagai primary legislation adalah produk politik. Pemaknaan bahwa undang-undang merupakan suatu produk politik merupakan pemaknaan yang mengacu pada proses legislasi suatu undang-undang. Namun, pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari hakikat makna dari legislasi untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika makna legislasi dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada prosesnya dapat berimplikasi makna legislasi sekedar direduksi sekedar sebagai hasil dari proses tawar menawar politik (political bargaining) yang mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal kedua inilah yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini. Proses legislasi hanya dijadikan sebagai arena transaksi kepentingan yang rentan dengan infiltrasi dari berbagai variabel internal/eksternal yang memiskinkan makna legislasi seperti: ekonometri sempit dari para legislator yang hanya berkalkulasi mengenai untung/rugi biaya legislasi bagi kocek pribadinya/fraksinya/kepentingan politik atau ekonomis parsial, pertimbangan sempit terhadap biaya dan pengaruh sosial produk hukum oleh para legislator, tekanan modal asing dalam proses legislasi, melegislasi kepentingan parsial mengatasnamakan kepentingan umum, dan seterusnya.
            Mencermati hakikat dari legislasi tersebut, tak salah jika ada penilaian bahwa perubahan UU No. 10 Tahun 2004 menjadi UU No. 12 Tahun 2011 tak ubahnya hanya bergerak pada wilayah administratif-prosedural proses legislasi dengan sedikit polesan/kemasan khususnya pada bagian lampiran mengenai penyusunan Naskah Akademik, daripada upaya untuk mengembalikan hakikat makna legislasi sebagai proses pelembagaan nilai. Sedikit catatan pula terhadap pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut yang tak lepas dari pandangan mengenai stufenbau des recht-nya Hans Kelsen, tak mampu berbuat banyak untuk memberi tempat terhadap hukum-hukum adat yang sebenarnya merupakan hukum asli dari berbagai suku-suku bangsa nusantara yang berhimpun dalam NKRI ini. Kuatnya paradigma positivisme dalam sistem legislasi di negeri ini sebagai warisan kolonialisasi acapkali diperparah dengan cara pandang para hakim di wilayah yudikatif yang selama ini lebih banyak berperan sebagai “corong undang-undang” (bouche de la loi) daripada menjadi para hakim progresif yang bisa menghasilkan putusan yang memiliki bobot nilai keadilan tinggi sebagai suatu landmark decision. Peradilan untuk Prita Mulyasari versus RS OMNI Internasional, nenek Minah versus korporasi pemilik lahan kakao yang konon di masa lalu tanah-tanah yang dikuasai para korporat itu merupakan milik adat penduduk setempat yang dianeksasi rezim militer semasa ORBA, peradilan AAL “pencuri sandal” di PN Kota Palu-Sulawesi Tengah, anak idiot yang gara-gara didakwa mencuri beberapa tandan pisang diproses hukum, orang yang dipidana gara-gara didakwa mencuri 2 batang bambu dan sejenisnya merupakan contoh-contoh proses peradilan yang defisit keadilan.
            Mencermati berbagai kelemahan praktik legislasi yang selama ini telah mencabut akar makna sejati dari legislasi untuk melembagakan suatu nilai (nomos), diperlukan adanya revolusi paradigma dalam proses legislasi. Legislasi harus dikembalikan pada makna sejatinya dan itu berarti menghendaki para legislator yang mampu mengedepankan sikap kenegarawanan, bukan hanya sekedar segerombolan politisi yang mencari makan di gedung miring senayan. Proses revisi UU APBN dengan melakukan amandemen terhadap UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN melalui penambahan ayat (6A) pada Pasal 7 UU APBN yang berujung pada pemberian diskresi bagi pemerintah untuk bisa menaikan atau menurunkan harga BBM bersubsidi jika terjadi deviasi ICP 5% di atas asumsi US$105 per barel di RAPBNP, merupakan contoh proses legislasi yang lebih sarat muatan kepentingan tanpa mengindahkan teori dan prinsip-prinsip dalam pembentukan materi muatan sebuah undang-undangan yang baik. Amandemen terhadap UU APBN tersebut kemudian juga dimaksudkan untuk menambahkan beberapa klausul baru, seperti Pasal 7 ayat (1) A, Pasal 8A, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 A dan B dan Pasal 20 ayat (1).
            Dalam telaah filsafat legislasi, sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max Weber harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tegolong legitimate manakala didalamanya mengandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu mendorong kepatuhan. Ketika seseorang mematuhi produk hukum bukan karena kepentingan diri namun karena kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah produk hukum, disitulah suatu produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi memiliki legitimasi.
            Proses legislasi yang dilaksanakan oleh badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki legitimasi yang didalamnya terkandung nilai (nomos). Semua itu tentunya menghendaki para legislator yang mampu menjadi panutan/teladan dalam perilaku maupun pelaksanaan fungsinya sebagai wakil rakyat. Para wakil rakyat yang bermasalah dan kemudian bertindak sebagai legislator hanya akan menghasilkan proses legislasi yang bermasalah dengan berbagai produk hukum yang sebenarnya hanya menjadi bukti kasat mata dari kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi baju hukum dan agar “berkesan” sebagai sebuah norma maka kepadanya diatasnamakan “kepentingan rakyat.”
             Para legislator perlu belajar kembali pada pandangan Plato dan Socrates mengenai para pemimpin negara (the rulers). Menurut mereka para penguasa termasuk legislator harus terdiri dari mereka yang bijak (the philosoper king) yang berhasrat untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan (good) dan hidup yang baik (good life) serta  kepentingan umum. Dengan demikian keadilan akan hidup dalam negara dan keadilan itu harus memerintah  serta menjelma dalam negara.


Tidak ada komentar:

New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...