Hukum Keuangan Negara Dalam Welfare State
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
willyriawan@yahoo.com
Materi disampaikan pada
Pelatihan "Pengenalan Karakteristik Usaha Perbankan, Kewajiban
Perpajakan Wajib Pajak Perbankan dan Perbuatan Koruptif Penghindaran Pajak "
yang diselenggarakan oleh Komisi Pemverantasan Korupsi Republik Indonesia
di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, 27 Mei 2015
Pemaknaan Keuangan
Negara dalam Welfare State
Negara merupakan
organisasi tertinggi di
antara satu kelompok
atau beberapa kelompok masyarakat
yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu hidup
di dalam daerah tertentu,
dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Mengenai
tugas negara dibagi
menjadi tiga kelompok. Pertama, negara
harus memberikan
perlindungan kepada penduduk
dalam wilayah tertentu.
Kedua, negara mendukung atau
langsung menyediakan berbagai
pelayanan kehidupan
masyarakat di bidang
sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Ketiga, negara
menjadi wasit yang tidak
memihak antara pihak-pihak
yang berkonflik dalam
masyarakat serta menyediakan suatu
sistem yudisial yang
menjamin keadilan dasar
dalam hubungan
kemasyarakatan. Tugas negara
menurut faham modern
sekarang ini (dalam suatu
Negara Kesejahteraan atau
Social Service State),
adalah menyelenggarakan
kepentingan umum untuk
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang
sebesar-besarnya berdasarkan keadilan
dalam suatu Negara Hukum. Dalam mencapai
tujuan dari negara
dan menjalankan negara, dilaksanakan oleh
pemerintah.
Definisi keuangan
negara adalah semua
hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun
berupa barang yang
dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban
tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan
bahwa pendekatan yang
digunakan dalam merumuskan Keuangan
Negara adalah dari
sisi objek, subjek,
proses, dan tujuan. Dari
sisi objek, yang
dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi semua hak
dan kewajiban negara
yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi
subjek, yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
subjek yang memiliki/menguasai objek
sebagaimana tersebut di atas,
yaitu: pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan
badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan
negara. Dari sisi
proses, Keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan objek
sebagaimana tersebut di
atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban. Dari sisi
tujuan, Keuangan Negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan
dan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan
dan/atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara. Berdasarkan pengertian
keuangan negara dengan pendekatan objek,
terlihat bahwa hak
dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan
uang diperluas cakupannya, yaitu
termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal,
moneter dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan. Dengan
demikian, bidang pengelolaan keuangan
negara dapat dikelompokkan
dalam: subbidang pengelolaan fiskal,
subbidang pengelolaan moneter,
dan subbidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
Salah
satu segi positif
perkembangan hukum dalam
era reformasi dewasa ini
adalah langkah progresif
yang diwujudkan dalam
penataan perangkat hukum yang
melandasi kebijakan keuangan
negara adalah diundangkannya UU No.
17 Tahun
2003 tentang Keuangan
Negara (UUKN) pada
tanggal 5 April
2003. Eksistensi UUKN mencabut
keberlakuan beberapa undang-undang
sebelumnya sepanjang telah diatur
dalam UUKN, yaitu Indische
Comptabiliteitswet (ICW)
Stbl. 1925 No.
448 sebagaimana telah
beberapa kali diubah,
terakhir dengan UU No.
9 Tahun 1968
tentang Perbendaharaan Negara
(UUPN), Indische Bedrijvenswet (IBW) Stb. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936
No. 445, dan
Reglement voor het
Administratief Beheer (RAB)
Stbl. 1933 No.
381. Ditinjau dari
sudut legislasi, kehadiran UUKN
merupakan prestasi monumental,
karena pasca kemerdekaan belum pernah
ada produk hukum
keuangan negara yang
memang merupakan produk dari
lembaga legislatif kita,
yang sungguh-sungguh mencerminkan kedaulatan negara.
UU PN yang
pernah ada sebagai
landasan hukum negara kita
sebelumnya, tidak lain
merupakan metamorfosa dari
ICW sebagai warisan kolonial, yang
jauh dari semangat
kemerdekaan RI sebagai
bangsa yang berdaulat. UUKN
merupakan pelaksanaan dari
Pasal 23C Bab
VIII UUD 1945, yang
secara substantif cukup
banyak mengandung perubahan
paradigma dalam pengelolaan
keuangan negara. Ditinjau dari definisi
yang diberikan oleh
UUKN mengenai keuangan negara, tampaknya
dianut definisi yang
luas, yaitu semua
hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan
uang, serta segala
sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan
milik negara berhubung
dengan pelaksanaan kewajiban tersebut. Hal ini tentunya
dapat menjadi landasan untuk
mengamankan uang-uang negara
yang diperoleh dari
pungutan-pungutan dari
masyarakat, baik dari
pajak maupun bukan
pajak yang diatur
dengan UU No. 20
Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Suatu hal
yang patut digarisbawahi dalam UUKN adalah adanya perubahan
tahun anggaran, yaitu
yang semula dalam
Pasal 7 ayat
(2) UUPN “tahun
dinas anggaran” berlaku dari
tanggal satu April
sampai dengan tanggal
tiga puluh satu Maret
tahun berikutnya, berdasarkan
Pasal 4 UUKN
tahun anggaran diubah menjadi dari
tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal
31 Desember. Disini terdapat perbedaan
penggunaan istilah, yaitu
pada UUPN digunakan
istilah “tahun dinas ” (dienstjaar) dan
pada UUKN digunakan
istilah “tahun anggaran” (begrootingsjaar). Perubahan
istilah tersebut menghilangkan
dualisme yang terdapat pada
UUPN, karena istilah
“tahun anggaran” menunjuk
pada jangka waktu tepat
dua belas bulan
yakni dari tanggal
1 April sampai
dengan tanggal 31 Maret
tahun berikutnya, sedangkan
“tahun dinas” berjalan
lebih dari satu tahun
sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 ICW
1925 yang sudah
dicabut oleh UU No.
12 Tahun 1955
yang menyatakan bahwa
tahun anggaran tetap
terbuka sampai 1 April
tahun berikutnya. Dengan
demikian, UUKN telah
melakukan pilihan yang benar
dengan menggunakan istilah
“tahun anggaran”, sekaligus menghilangkan kerancuan
makna istilah “tahun
dinas” (dientsjaar) dan
“tahun anggaran” (begrootingsjaar). Ditinjau dari
segi prinsip penyusunan
anggaran, UUKN juga
dinilai memberikan landasan hukum
bagi kebijakan penyusunan
keuangan negara yang lebih
realistis dan transparan.
Hal itu dapat
dilihat dari Pasal
12 UUKN yang memberikan
landasan bagi penyusunan
“anggaran surplus dan
defisit”, yang mengubah prinsip
penyusunan “anggaran berimbang”
yang dinilai oleh banyak
pihak sebagai kurang
transparan dan tidak
realistis. Dalam hal diperkirakan terjadi
defisit anggaran, ditetapkan
sumber-sumber pembiayaan untuk
menutupi defisit tersebut dalam UU tentang APBN. Hal ini mencerminkan
prinsip keterbukaan dalam
penyusunan anggaran, sekaligus
menstimulasi akuntabilitas
publik dari Pemerintah
untuk menyusun program-program pembangunan dalam
APBN secara cermat
untuk menghindari terjadinya
defisit anggaran, atau menggunakan istilah dari
Pasal 12 ayat
(1) UUKN “sesuai
dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara”.
UUKN juga memberikan
kerangka hukum dalam
hal mekanisme kebijakan penyusunan
anggaran, yaitu dengan
adanya keharusan Pemerintah Pusat untuk
menyampaikan pokok-pokok kebijakan
fiskal dan kerangka ekonomi makro
yang selanjutnya dibahas
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai dasar untuk
membahas kebijakan umum
dan prioritas anggaran, yang
merupakan acuan bagi
setiap kementerian negara/ lembaga dalam
penyusunan usulan anggaran.
Hal tersebut sebenarnya
untuk mendorong peran dari
Bappenas yang memiliki
Deputi Bidang Ekonomi
Makro dalam perumusan kebijakan
dan penyusunan rencana
pembangunan nasional di bidang
ekonomi makro, sebagaimana
telah diatur dalam
Susunan Organisasi dan Tugas
Lembaga Pemerintah Non
Departemen. Hanya saja,
UUKN dalam penggunaan istilah
“kerangka ekonomi makro”
mengandaikan bahwa istilah tersebut yang
dari sudut ekonomi
memiliki berbagai pilihan
variabel, telah jelas dipahami
secara hukum. Tentunya
hal ini dapat
mengundang perdebatan lebih lanjut
dari segi hukum,
karena istilah “kerangka
ekonomi makro” tidak terdapat definisi
stipulatif maupun penjelasannya
dalam UUKN. Terlebih
Pasal 27 ayat (3)
UUKN menyebutkan indikator
“perkembangan ekonomi makro” sebagai salah
satu landasan yuridis
untuk melakukan penyesuaian
APBN. Hal ini memerlukan
adanya pengaturan lebih
lanjut dalam Perpres
mengenai pelaksanaan APBN untuk memperjelas penggunaan istilah tersebut,
yang dalam ilmu ekonomi saja
banyak alternatif analisisnya.
Perlunya pengaturan lebih lanjut
mengenai penggunaan istilah
“kerangka ekonomi makro”
ini, diperlukan untuk menyesuaikan
dengan konsep yuridis
yang memerlukan indikator
secara jelas yang dapat
menjadi tolok ukur
untuk pelaksanaan aturan
tersebut. Hal ini akan
menjadi dasar penilaian
bagi urgensi dan
validitas kebijakan penyesuaian anggaran oleh
Pemerintah, yang terkait
dengan pertanggungjawaban dari
segi hukum pelaksanaan APBN. Menarik
pula untuk dicermati
UUKN dalam Penjelasan
Umum angka-4 memperkenalkan konsep
Asas-asas Umum Pengelolaan
Keuangan Negara (AAUPKN) yaitu meliputi:
akuntabilitas berorientasi pada
hasil, profesionalitas,
proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan
keuangan negara, pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. AAUPKN tersebut sebenarnya
merupakan penjelasan atas
prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan negara yang
telah diatur dalam
batang tubuh UUKN.
Namun, dari sisi yuridis
akan lebih memiliki
kekuatan normatif apabila
pengaturan AAUPKN
ditempatkan dalam bagian
awal batang tubuh UUKN,
agar lebih jelas untuk
merumuskan
indikator-indikator
penilaian penerapannya secara yuridis dikaitkan
dengan sanksi-saksi terhadap
penyimpangan pelaksanaan
pengelolaan keuangan negara.
Segi positif yang
terlihat dari AAUPKN
itu adalah (meskipun tidak
cukup kuat menjadi
landasan normatif karena
penempatannya hanya dalam Penjelasan),
dimungkinkannya adanya badan
pemeriksa keuangan yang bebas
dan mandiri yang
menimbulkan wacana lembaga
audit keuangan negara independen
di luar struktur
pemerintahan, termasuk LSM
maupun auditor swasta lain.
Tetapi, tentunya akan
timbul persoalan mengenai
kekuatan dari hasil penilaian
lembaga audit keuangan
independen tersebut, karena
UUKN tidak mengatur secara
normatif eksistensi, mekanisme,
dan prosedur tindak lanjut
hasil penilaian lembaga
aaudit keuangan independen
di luar penilaian politis dari DPR yang memang
terdapat pengaturannya dalam UUKN. Terlepas
dari masih adanya
loopholes dalam
UUKN, tetap perlu
adanya apresiasi positif terhadap
lahirnya UUKN sebagai
prestasi monumental legislatif
yang sejak Indonesia
merdeka belum pernah
berhasil menyusun UU
Keuangan Negara “asli” Indonesia,
yang sungguh-sungguh mencerminkan
kedaulatan Negara RI sebagai
suatu bangsa yang
merdeka. Kelemahan yang
masih ada pada UUKN
kiranya dapat menjadi
catatan untuk penyempurnaan
UUKN tersebut pada masa
mendatang, dan sebagai
dasar untuk mengambil
sikap antisipatif dalam penerapan
UUKN dalam pengelolaan keuangan negara.
Pembaruan Visi
Pengelolaan Keuangan Negara
Pengelolaan keuangan
negara secara tertib,
cermat, efektif dan
efisien memerlukan disain legal framework yang
secara jelas dapat
dijadikan acuan dalam kebijakan
pengelolaan keuangan negara.
Pembaruan terhadap legal basis
pengelolaan keuangan negara,
telah menghasilkan 4
(empat) regulasi pokok yaitu
UU No. 17
Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (UUKN),
UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara
(UUPN), UU No.
15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan
Negara dan Keppres
No. 42 Tahun
2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN. Pemisahan pengaturan
mengenai bidang “keuangan
negara” dengan bidang “perbendaharaan negara”,
merupakan reformasi terhadap
sistem pengaturan
berdasarkan Indische comptabiliteits Wet (ICW),
yang telah beberapa
kali direvisi terakhir melalui
UU No. 9
Tahun 1968 diubah
menjadi UU Perbendaharaan Indonesia (UPI). Meskipun ICW
diubah menjadi UPI,
tetapi sebenarnya di
dalamnya mengatur baik bidang keuangan negara maupun bidang
perbendaharaan negara. Hal itu membuat
rancu segi pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara, selain
disebabkan karena kewenangan
administratif (ordonnateur) dan pemegang
fungsi pembayaran (comptable) tidak
dipisahkan secara tegas,
juga terutama karena UPI
belum memiliki disain
visi pengelolaan keuangan
negara yang jelas. Segi
historis UPI yang
bernuansa kolonialistis, juga
turut menjadi latar belakang
yang menyebabkan kerancuan
visi dalam perspektif
pengelolaan keuangan negara RI sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Pengelolaan keuangan negara
yang semula hanya
dipandang bersifat
komplementer terhadap kebijakan
birokrasi publik, sekarang
dibangun sebagai suatu sistem
birokrasi spesifik yang
perlu secara jelas
diatur dalam regulasi khusus. Logika
yang mendasari kebijakan
regulasi tersebut adalah
bahwa persoalan keuangan dan
perbendaharaan negara tidak
boleh lagi dilihat
hanya sebagai pendukung kebijakan
publik, melainkan harus
diletakkan sebagai penentu kebijakan
publik. Kekacauan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai dampak biasnya regulasi,
memiliki implikasi yang
serius terhadap kesejahteraan rakyat dan memiliki mulitiplier effect terhadap stabilitas makro ekonomi.
Kekuasaan atas
Pengelolaan Keuangan Negara
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan
dalam berbagai bidang,
akan menimbulkan hak
dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan
uang. Hal ini
perlu dikelola dalam
suatu sistem pengelolaan keuangan
negara. Kekuasaan atas
pengelolaan keuangan negara
diatur dalam bab II
Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Pada
pasal 6 ayat
(1) diatur bahwa Presiden
selaku Kepala Pemerintahan
memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai
bagian dari kekuasaan
pemerintahan. Dalam penjelasan
pasal tersebut diatur bahwa
kekuasaan tersebut meliputi
kewenangan yang bersifat
umum dan kewenangan
yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat
umum meliputi penetapan
arah, kebijakan umum,
strategi, dan prioritas dalam pengelolaan
APBN, antara lain
penetapan pedoman pelaksanaan
dan pertanggungjawaban APBN, penetapan
pedoman penyusunan rencana
kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), penetapan gaji
dan tunjangan, serta
pedoman pengelolaan penerimaan
negara. Kewenangan yang bersifat
khusus meliputi keputusan/
kebijakan teknis yang
berkaitan dengan pengelolaan APBN,
antara lain keputusan
sidang kabinet di bidang pengelolaan
APBN, keputusan rincian APBN,
keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Pembagian Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Negara
Untuk membantu
Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
pengelolaan keuangan negara, sebagian dari
kekuasaan tersebut dikuasakan
kepada : 1) Menteri
Keuangan selaku Pengelola
Fiskal dan Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara
yang dipisahkan. Menteri
Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan
pada hakekatnya berperan
sebagai Chief Financial of
Officer (CFO) Pemerintah Republik
Indonesia. Dalam rangka
pelaksanaan kekuasaan atas
pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas sebagai
berikut (a) menyusun
kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro, (b)
menyusun rancangan APBN
dan rancangan Perubahan
APBN, (c) mengesahkan dokumen pelaksanaan
anggaran, (d) melakukan
perjanjian internasional di
bidang keuangan, (e) melaksanakan pemungutan
pendapatan negara yang
telah ditetapkan dengan
undang-undang, (f) melaksanakan
fungsi bendahara umum
negara, (g) menyusun
laporan keuangan yang merupakan
pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN, (f)
melaksanakan tugas-tugas lain di
bidang pengelolaan fiskal
berdasarkan ketentuan undang-undang. Sub bidang
pengelolaan fiskal meliputi
fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan
fiskal dan kerangka ekonomi
makro, penganggaran, administrasi
perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan
pengawasan keuangan. 2) Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya. Setiap
menteri/pimpinan lembaga pada
hakekatnya adalah Chief
of Operational Officer (COO)
untuk suatu bidang
tertentu pemerintahan, yang mempunyai tugas
sebagai berikut (a)
menyusun rancangan anggaran
kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya, (b)
menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran, (c) melaksanakan anggaran
kementerian negara /lembaga
yang dipimpinnya, (d)
melaksanakan pemungutan
penerimaan negara bukan
pajak dan menyetorkannya ke
kas negara, (e) mengelola
piutang dan utang
negara yang menjadi
tanggung jawab kementerian
negara /lembaga yang dipimpinnya,
(f) mengelola barang
milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawab kementerian
negara /lembaga yang
dipimpinnya, (g) menyusun
dan menyampaikan laporan keuangan
kementerian negara /lembaga
yang dipimpinnya, (h) melaksanakan tugas-tugas
lain yang menjadi
tanggung jawabnya berdasarkan
ketentuan undang-undang. 3).
Gubernur/bupati/walikota
selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Sesuai
dengan asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara,
kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah diatur
sebagai berikut:
a.
dilaksanakan oleh kepala
satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku
pejabat pengelola APBD dengan
tugas sebagai berikut:
- menyusun dan
melaksanakan kebijakan pengelolaan
APBD;
- menyusun rancangan
APBD dan rancangan
Perubahan APBD;
-
melaksanakan pemungutan pendapatan
daerah yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
- melaksanakan fungsi
bendahara umum daerah;
- menyusun
laporan keuangan yang
merupakan
per-tanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
b. dilaksanakan
oleh kepala satuan kerja
perangkat daerah selaku
pejabat pengguna
anggaran/barang daerah, dengan
tugas sebagai berikut:
- menyusun
anggaran satuan kerja
perangkat daerah yang
dipimpinnya; - menyusun dokumen
pelaksanaan anggaran;
-
melaksanakan anggaran satuan
kerja perangkat daerah
yang dipimpinnya;
- melaksanakan
pemungutan penerimaan bukan
pajak; - mengelola utang
piutang daerah yang
menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
- mengelola
barang milik/kekayaan daerah
yang menjadi tanggung
jawab satuan kerja
perangkat daerah yang
dipimpinnya;
- menyusun
dan menyampaikan laporan
keuangan satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya.
Sebagai catatan, pembagian
kekuasaan pengelolaan keuangan
negara seperti tersebut
di atas tidak mencakup kewenangan
di bidang moneter,
yang antara lain
meliputi kewenangan untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang, yang
diatur dengan undang-undang. Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 pasal 23
D bahwa negara
memiliki suatu bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab dan
independensinya diatur dengan
undang-undang. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Pemerintah Pusat dan
bank sentral berkoordinasi
dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal
dan moneter. Prinsip
pembagian kekuasaan perlu
dilaksanakan secara konsisten
agar terdapat kejelasan
dalam pembagian wewenang dan
tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme koordinasi (checks and balances) serta
untuk mendorong upaya
peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas
pemerintahan.
Peran APBN bagi
Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara
(APBN) merupakan alat
utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya
dan sekaligus alat
pemerintah untuk mengelola perekonomian
negara. Sebagai alat
pemerintah, APBN bukan hanya
menyangkut keputusan ekonomi,
namun juga menyangkut
keputusan politik. Dalam konteks
ini, DPR dengan
hak legislasi, penganggaran,
dan pengawasan yang dimilikinya
perlu lebih berperan
dalam mengawal APBN sehingga
APBN benar-benar dapat
secara efektif menjadi
instrumen untuk
mensejahterakan rakyat dan
mengelola perekonomian negara
dengan baik.
Kebijakan
fiskal adalah salah
satu perangkat kebijakan
ekonomi makro dan
merupakan kebijakan utama pemerintah
yang diimplementasikan melalui
APBN. Kebijakan ini
memiliki peran yang penting
dan sangat strategis
dalam mempengaruhi perekonomian,
terutama dalam upaya mencapai target-target
pembangunan nasional. Peran
tersebut terkait dengan
tiga fungsi utama pemerintah, yaitu
fungsi alokasi, fungsi
distribusi, dan fungsi
stabilisasi. APBN harus
didesain sesuai dengan fungsi
tersebut, dalam upaya
mendukung penciptaan akselerasi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan berkualitas. Dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara,
dijelaskan: fungsi alokasi mengandung
arti bahwa anggaran
negara harus diarahkan
untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian;
fungsi distribusi mengandung
arti bahwa kebijakan
anggaran negara harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan;
fungsi stabilisasi mengandung
arti bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara
dan mengupayakan keseimbangan
fundamental ekonomi. Fungsi
alokasi berkaitan dengan
intervensi Pemerintah terhadap
perekonomian dalam
mengalokasikan sumber daya
ekonominya, sedangkan fungsi
distribusi berkaitan dengan pendistribusian barang-barang
yang diproduksi oleh
masyarakat. Peran penting
kebijakan fiskal dalam redistribusi
dan alokasi anggaran
pemerintah antara lain
adalah penanggulangan kemiskinan, dan
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks ini,
kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk
mempengaruhi sektor-sektor ekonomi
atau kegiatan tertentu,
untuk menyeimbangkan
pertumbuhan pendapatan antarsektor
ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan.
Peran kebijakan fiskal
juga penting dalam
menanggulangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial. Fungsi stabilisasi
berkaitan dengan upaya
menjaga stabilitas dan
akselerasi kinerja ekonomi, sehingga perekonomian
tetap pada kesempatan
kerja penuh (full
employment) dengan harga
yang stabil. Fungsi stabilisasi
yang ditujukan untuk
meminimalisir volatilitas atau
fluktuasi dalam
perekonomian, merupakan esensi
utama kebijakan APBN.
Dengan peran stabilisasinya, kebijakan fiskal dipandang
sebagai salah satu
alat yang efektif
untuk memperkecil siklus
bisnis. Sejarah kebijakan fiskal
Indonesia menunjukkan bukti
tersebut selama periode
krisis ekonomi 1997/1998, dan krisis
2009. Kebijakan ekspansif
fiskal melalui pengalokasian
stimulus fiskal pada
tahun 2009 mampu menahan
ekonomi Indonesia dari
dampak krisis, bahkan
mampu membuat ekonomi tumbuh positif
di tengah kondisi melambatnya
pertumbuhan ekonomi dunia.
Stabilitas ekonomi terjaga, dan
kesehatan fiskal dapat
diwujudkan. Tentu saja,
hal tersebut dapat
diwujudkan tidak semata melalui
kebijakan fiskal yang
tepat, tetapi didukung
oleh kebijakan moneter
dan kebijakan lain yang
saling bersinergi.
Performance Budgeting
Istilah
penganggaran berbasis kinerja
(performance budgetting) dalam keuangan negara
RI, disebutkan dalam
pasal 14 ayat
(2) UU No.
17 Tahun 2003. Fungsi-fungsi suatu
sistem penganggaran secara
umum meliputi:;Financial
control of inputs,
yaitu pengendalian terhadap
masukan-masukan berupa belanja pegawai dan belanja barang. 2. Management of
ongoing activities, yaitu
menggunakan informasi biaya, aktivitas dan hasil-hasil guna
mengevaluasi keberhasilan program. 3. Planning, yaitu sistem penganggaran
dipergunakan untuk perencanaan masa yang
akan datang dalam
dua cara. Pertama,
sistem anggaran mewajibkan setiap instansi
menghitung, berapa jumlah
biaya yang dibutuhkan
untuk program yang diusulkan,
dan jika mungkin
mengaitkan biaya-biaya
tersebut dengan tingkat
aktivitas untuk selama
beberapa tahun di
masa mendatang. Kedua, sistem
anggaran mewajibkan kementerian
negara/ lembaga pengguna anggaran
beserta unit-unitnya untuk
menerapkan perencanaan
strategis. Selanjutnya, usulan
anggaran, penetapan anggaran dan pelaksanaannya harus selalu
mengacu pada rencana-rencana tersebut. 4.
Setting Priorities, yaitu
sistem penganggaran membantu
dalam penentuan prioritas program
dari instansi-instansi yang mengusulkan anggaran. 5. Accountability, yaitu
sistem penganggaran dipergunakan
untuk menginformasikan
kualitas pencapaian sasaran
strategis berdasarkan
outcomes yang dicapai.
Anggaran
kinerja adalah suatu
pendekatan sistematis untuk
membantu Pemerintah menjadi lebih
tanggap kepada masyarakat
pembayar pajak, dengan mengaitkan
pendanaan program pada
kinerja dan produksi.
Menurut Government of Alberta,
Canada, "Performance budgetting
is a system
of planning, budgetting, and
evaluation that emphasizes the relationship between money budgeted and results
expected." Syarat anggaran berbasis kinerja adalah: 1. Kejelasan sasaran strategis 2. Pengembangan
dan ketersediaan indikator kinerja (Specific, Measurable,
Attainable or achievable,
Result oriented, and
Timebound: SMART) 3.
Keterkaitan yang jelas : sasaran strategis dengan indikator kinerja 4. Kejelasan
akuntabilitas kinerja dan
laporan akuntabilitas kinerja
yang lebih menekankan pada outcome 5. Perlu perencanaan lebih awal guna mencapai
konsensus 6. Leadership untuk
mempromosikan perubahan 7. Kehati-hatian
dalam implementasi . Selanjutnya,
kondisi-kondisi yang diperlukan
dalam penganggaran berbasis
kinerja adalah: 1. Orientasi yang sama pada hasil (Similar orientation on results) 2. Penerapan rencana kinerja
tahunan (Annual performance plan) 3.
Pengembangan indikator kinerja (Performance
indicators) 4. Sistem pengumpulan
data kinerja (Performance data collection
system)
Konsekuensi penerapan penganggaran berbasis
kinerja adalah meliputi: 1.
Perubahan klasifikasi anggaran
dan integrasinya dengan
sistem akuntansi Pemerintah.
2. Aturan tentang
fleksibilitas anggaran perlu
diseimbangkan dengan
akuntabilitas 3. Restruktrurisasi
program-program pemerintah Anggaran
berbasis kinerja saat
ini dinilai sebagai
suatu pilihan sistem penganggaran yang
mampu menstimulasi manajemen
birokrasi yang mengacu pada
prinsip efektivitas, mengefisienkan alokasi
anggaran dalam pelaksanaan program/proyek dan pendanaan
infrastruktur publik, menstimulasi keterbukaan dan akuntabilitas
pemerintahan, dan melakukan
penghematan uang negara tanpa
melalaikan prinsip-prinsip profesionalitas. Perwujudan
good governance perlu didukung
oleh prinsip-prinsip manajemen berbasis kinerja. Prinsip-prinsip manajemen
berbasis kinerja tersebut meliputi: 1. Menyediakan suatu
pendekatan terstruktur dalam
memfokuskan pada strategic performance objectives; 2. Menyediakan mekanisme
yang secara akurat
mampu melaporkan kinerja kepada manajemen yang lebih tinggi
atau kepada para stakeholder.; 3. Melibatkan semua
pihak yang berkepentingan dalam
perencanaan dan evaluasi kinerja;
4. Menyediakan mekanisme menghubungkan
kinerja dengan pengeluaran anggaran,; 5. Mewakili suatu cara
yang ‘fair’ untuk melakukan kegiatan; 6. Menyediakan kerangka akuntabilitas
kinerja yang sempurna (lengkap); dan 7. Membagi tanggung jawab untuk
meningkatkan kinerja.
Dalam buku "Public Expenditure Management
Handbook" yang diterbitkan oleh The Worldbank (1998) dinyatakan bahwa:
This type of budgeting drew on a long-term concern with the efficiency of
government and attempted to
integrate information about government activities into the budget process so
that budget decisions could be
based to a greater degree on
the relationship between
what government did and
how much it
cost. The specific reform,
known as "performance
budgeting," was designed to allow managers
to develop measures of workload and unit cost. A performance budget
usually divides proposed expenditures into activities within
each organization and a set of
workload measures that relate
the activity performed
to cost. Performance budgeting allows the budget to be built, not incrementally (as
in traditional line
item budgeting), but on the basis of
anticipated workload. Managers
could arrive at a budget by simply
multiplying the cost of a
unit of output by the number
of units needed in
the next year. Performance
budgeting indicated a shift
from budgeting based on expenditure control,
to budgeting based increasingly
on management concerns. The emphasis
was not on making government-wide
budgetary trade-offs, but on measuring
the workload of an agency.
The focus was on the work
to be done, not on the usefulness
of the objectives
themselves. Performance
budgeting was rarely adopted as
a government-wide budgetary
process, but is significant
because it emphasized the integration
of activity information and budgeting. This
emphasis was to be
continued in future reform
efforts.
Pelaksanaan
anggaran di suatu
negara perlu secara
konsisten mengacu pada asas-asas
anggaran. Asas-asas anggaran
yang menjadi ciri
anggaran dalam negara modern
terdiri dari : 1. Asas kelengkapan (volledigheid,
universalitas) Asas ini mempertahankan hak budget
parlemen secara lengkap.
Semua pengeluaran dan penerimaan
secara tegas dimuat
dalam anggaran. Tidak boleh
ada penerimaan atau
pengeluaran yang tidak
dimasukkan ke dalam kas
negara. Dengan demikian
tidak ada kegiatan
penguasa publik yang terlepas
dari pengawasan DPR. Asas
kelengkapan ini mencegah penyediaan/ penggunaan
fonds khusus,
serta tidak memberi
kesempatan kepada kompensasi administratif
dari pengeluaran tertentu
dengan pendapatan tertentu. 2.
Asas spesialisasi/spesifikasi.Dapat diklasifikasi atas dua macam, yaitu: a.
Spesialisasi kualitatif, yakni
jumlah yang tertentu
yang ditetapkan untuk pasal
tertentu, harus semata-mata
digunakan untuk tujuan
yang disebutkan dalam pasal itu; b.
Spesialisasi kuantitatif, yakni
tidak diperbolehkan melampaui
jumlah yang telah ditetapkan; c. Spesialisasi menurut
urutan sementara, yakni
pengeluaran itu hanya dapat
dibebankan kepada pasal
tertentu bagi anggaran
tertentu selama dinas yang
bersangkutan masih dibuka. 3. Asas berkala (periodisitas) Pemberian otorisasi
dan pengawasan rakyat
dengan perantaraan wakil wakilnya secara
berkala dalam kebijaksanaan
pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan
periodisitas ini memungkinkan
pemberian otorisasi dan pengawasan
rakyat berjalan secara
teratur. Periodisitas ini
tidak menghilangkan
pengawasan rakyat, tetapi
juga harus diperhatikan
agar kesempatan pemerintah untuk
menjalankan rencananya tetap
berlaku. Kedua hal ini
merupakan persyaratan pencapaian
tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. 4. Asas formil
(bentuk tertentu) Setiap rencana atau
bentuk kegiatan pemerintah
memerlukan suatu bentuk tertentu
yang dapat mengikat
semua pihak, dalam
hal ini bentuk
undangundang. Bagi rakyat,
dapat mengetahui dan
memegangnya secara pasti, yang
merupakan dasar untuk
pelaksanaan pengawasan rakyat
melalui wakil-wakilnya. Bagi pemerintah,
dapat menjadi dasar
pegangan yang pasti dalam
menjalankan fungsinya berdasarkan
otoritas yang telah
diberikan DPR. Asas formil ini dipengaruhi oleh prinsip negara hukum. 5.
Asas publisitas (keterbukaan) Merupakan
asas dalam demokrasi
bahwa tidak ada urusan
publik yang bersifat rahasia.
Dasar keterbukaan adalah
penting bagi negara
demokrasi mengenai penerimaan dan pengeluaran negara.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Korupsi Pada Pengelolaan Anggaran Pendapatan Negara/Daerah
Penyimpangan
dalam pengelolaan APBN/D pada
umumnya mencakup kebocoran
baik pada sisi penerimaan maupun
sisi pengeluaran. Kebocoran
yang terjadi pada sisi penerimaan terutama karena tidak seluruh penerimaan anggaran masuk ke Rekening Kas
Negara/Daerah, sedangkan pada sisi
pengeluaran terjadi karena adanya pengeluaran anggaran yang lebih besar
dari jumlah seharusnya. Sistem pengendalian manajemen harus terus menerus ditingkatkan keandalannya
berdasarkan umpan balik (feed
back) dari hasil upaya detektif dan represif. Upaya detektif
merupakan rangkaian kegiatan
yang ditujukan untuk
mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan APBN/D. Upaya
detektif dimaksudkan untuk memperoleh
alat bukti yang relevan, cukup dan
kompeten untuk mendukung simpulan
hasil pemeriksaan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut
(upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah
(presumption of innosence). Upaya
detektif mencakup upaya yang dianggap
penting dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu
dikembangkan sesuai kondisi yang dihadapi
di lapangan, yang
secara rinci dituangkan dalam program pemeriksaan
(auditprogram). Pengembangan upaya preventif dan detektif sangat perlu
dilakukan karena
penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi pada perusahaan pada umumnya disebabkan adanya kolusi baik antar petugas di
dalam perusahaan, maupun
dengan pihak luar yang terkait dengan perusahaan.
KPK RI pernah
mencatat terdapat 6 (enam) modus celah korupsi APBN (http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/03/063626022/Enam-Modus-Korupsi-Penyusunan-APBN-Versi-KPK).
Celah korupsi pertama, pengalokasian dana optimalisasi tak sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan. Celah kedua, regulasi yang mengontrol defisit tidak
digubris. Pada APBN 2014, terjadi peningkatan defisit sebanyak Rp 21,15
triliun. Pada RAPBN 2014 jumlahnya masih Rp 154,2 triliun, tapi ketika disahkan
menjadi Rp 175,35 triliun. Padahal perubahan RUU APBN dapat diusulkan Dewan Perwakilan
Rakyat sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit. Celah korupsi ketiga
ada pada rencana kerja pemerintah yang terus berubah dan tak terevaluasi dengan
benar.Rencana kerja yang sudah dibahas dengan DPR tidak ditetapkan kembali. Ini
memberikan hasil yang bias untuk perencanaan tahun-tahun berikutnya. Celah korupsi
keempat, proses penelahaan dana optimalisasi belum maksimal dalam menyaring
program yang tak sesuai dengan rencana kerja kementerian. Akibatnya, banyak
program ditetapkan padahal tak sesuai. Celah korupsi kelima adalah mekanisme
dan kriteria pembagian alokasi besaran dana optimalisasi pada masing-masing
kementerian/lembaga yang tidak transparan. Pembagian alokasi tersebut
diserahkan ke Badan Anggaran dan Komisi di DPR yang ditetapkan dalam rapat
internal dan tidak melibatkan pemerintah. Dampaknya, kementerian/lembaga tidak
mengetahui alasan mendapatkan besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja
dan tidak siap dalam menjalankan program atau kegiatan. Celah korupsi keenam,
tak ada peraturan tentang kriteria pemanfaatan dana optimalisasi. Ini dapat
membuka peluang bagi oknum untuk menambah, mengubah, sekaligus menghilangkan
poin-poin kriteria agar mengakomodasi kepentingan pihak tertentu serta membuat
kementerian/lembaga dan komisi-komisi tidak mematuhi kriteria yang telah
disepakati. Sehubungan dengan hal tersebut, mekanisme pembahasan anggaran
kementerian/lembaga dengan DPR perlu disempurnakan. Juga perlu dilakukan penguatan
regulasi terkait kriteria pengalokasian dan penggunaan dana optimalisasi dan
memformalkan perubahan rencana kerja pemerintah agar tidak berubah-ubah.
Kemudian, besaran defisit atas usulan perubahan APBN oleh DPR harus sudah
dikontrol ketika masih proses pembahasan.
Dalam pembahasan,
pengusulan dan implementasi APBN, Satker menjadi ujung tombak yang sangat menentukan.
Satker memainkan peran yang
penting dalam mengusulkan
dan menyusun rincian
kegiatan dan anggaran
bagi DIPA untuk tahun
fiskal berikutnya. Beberapa
Satker juga terlibat
dalam penyusunan Petunjuk
Operasional Kegiatan (POK). Survei
menunjukkan bahwa 80
persen Satker terlibat di
dalam proses perencanaan dan
penganggaran. Ini berarti
bahwa pejabat Satker
melaksanakan fungsi pelaksanaan
dan pemantauan, di samping
mengusulkan
kegiatan-kegiatan untuk tahun
fiskal berikutnya. Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) dan
Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) adalah dua
pejabat yang menyusun
dan merumuskan usulan kegiatan
dan berperan penting
dalam menentukan pelaksanaan
DIPA. Di titik inilah upaya detektif perlu dilakukan untuk mengayasi titik
rawan korupsi APBN.
Dalam hukum
administrasi negara, pemerintah diberikan kewenangan diskresi yang melekat pada
kewenangan jabatan tata usaha negara. Asas diskresi (freis ermessen) yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi
negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri. Dengan
demikian, setiap pejabat administrasi negara tidak boleh menolak mengambil
keputusan bila ada seorang warga masyarakat mengajukan permohonan dengan alasan
tidak ada peraturan yang mengaturnya. Diskresi terdiri dari dua macam, pertama,
diskresi terikat yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk
mengambil keputusan, yaitu dengan menentukan pilihan yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, diskresi bebas yaitu kebebasan dari
seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusn yaitu dengan
membentuk keputusan baru, karena tidak ditentukan (diatur) dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam mekanisme penggunaan anggaran, diskresi meskipun diperlukan dalam beberapa
kondisi tertentu. Namun, perlu ada pengaturan mengenai pembatasan penggunaan diskresi
oleh pejabat pemerintah. Hal ini disebabkan potensi terjadinya tindakan sewenang-wenang
dalam penggunaan diskresi yang bisa membuka celah terjadinya kerugian negara. Penggunaan
kewenangan diskresioner dapat menimbulkan efek negatif jika digunakan terlampau
berlebihan. Efek negatif kewenangan diskresioner, yaitu: Abuse of power (pelampauan kewenangan), Detournament de pouvoir (penyalahgunaan wewenang), Ultravires (penyalahgunaan wewenang). Sehubungan
dengan hal tersebut, kini pada Padal 22 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan terdapat pembatasan penggunaan wewenang diskresi, yaitu bahwa setiap
penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan harus bertujuan untuk: a. melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi
kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Diskresi
Pejabat Pemerintahan meliputi: a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu
pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak
mengatur; c, pengambilan Keputusan dan/atau
Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan
dan/atau Tindakan karena adanya
stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Pejabat Pemerintahan
yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat: a. sesuai dengan
tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai
dengan AUPB; c. berdasarkan
alasan-alasan yang objektif; d. tidak
menimbulkan Konflik Kepentingan; dan d. dilakukan
dengan iktikad baik. Penggunaan Diskresi
yang berpotensi mengubah alokasi anggaran
wajib memperoleh persetujuan dari Atasan
Pejabat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persetujuan tersebut dilakukan
apabila penggunaan Diskresi berdasarkan
ketentuan Pasal 23
huruf a, huruf
b, dan huruf c
serta menimbulkan akibat
hukum yang berpotensi
membebani keuangan negara. Dalam hal
penggunaan Diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan
darurat, mendesak dan/atau terjadi
bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib
memberitahukan kepada Atasan Pejabat
sebelum penggunaan Diskresi
dan melaporkan kepada Atasan
Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pemberitahuan sebelum
penggunaan Diskresi dilakukan apabila penggunaan Diskresi
berdasarkan ketentuan dalam Pasal
23 huruf d UU Adpem yang berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Pelaporan
setelah penggunaan Diskresi dilakukan
apabila penggunaan Diskresi berdasarkan ketentuan tersebut terjadi dalam keadaan
darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Pejabat yang
menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat
(1) dan ayat
(2) UU Adpem wajib
menguraikan maksud, tujuan,
substansi, serta dampak administrasi dan keuangan. Pejabat yang
menggunakan Diskresi wajib menyampaikan permohonan persetujuan
secara tertulis kepada Atasan Pejabat. Dalam waktu
5 (lima) hari
kerja setelah berkas permohonan diterima,
Atasan Pejabat menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan. Apabila
Atasan Pejabat melakukan
penolakan, Atasan Pejabat tersebut harus
memberikan alasan penolakan secara tertulis. Pejabat
yang menggunakan Diskresi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (3)
dan ayat (4) UU Adpem wajib menguraikan
maksud, tujuan, substansi,
dan dampak administrasi yang
berpotensi mengubah pembebanan
keuangan negara. Pejabat yang menggunakan
Diskresi wajib menyampaikan pemberitahuan secara
lisan atau tertulis
kepada Atasan Pejabat. Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud disampaikan paling
lama 5 (lima)
hari kerja sebelum penggunaan
Diskresi. Pejabat yang
menggunakan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat
(3) dan ayat
(5) UU Adpem wajib
menguraikan maksud, tujuan,
substansi, dan dampak yang
ditimbulkan. Pejabat yang menggunakan
Diskresi sebagaimana
dimaksud wajib menyampaikan laporan secara
tertulis kepada Atasan
Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Pelaporan sebagaimana
dimaksud disampaikan paling
lama 5 (lima) hari
kerja terhitung sejak penggunaan Diskresi. Penggunaan Diskresi
dikategorikan melampaui Wewenang
apabila: a. bertindak melampaui
batas waktu berlakunya Wewenang yang
diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. bertindak melampaui
batas wilayah berlakunya Wewenang yang
diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal
26, Pasal 27, dan Pasal 28. Akibat hukum dari
penggunaan Diskresi
sebagaimana dimaksud menjadi tidak sah. Penggunaan Diskresi dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang apabila: a. menggunakan Diskresi tidak sesuai dengan
tujuan Wewenang yang diberikan; b. tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 26, Pasal
27, dan Pasal 28; dan/atau c. bertentangan dengan AAUPB. (2) Akibat hukum dari
penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud dapat dibatalkan. Penggunaan Diskresi
dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat
yang tidak berwenang. Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana
dimaksud menjadi tidak sah.
Dalam buku "Understanding the Budget
Process A Handbook for Parliament" yang diterbitkan oleh Improving Parliamentary Performance in
Pakistan untuk mencegah korupsi pada APBN/D diperlukan penerapan PRINCIPLES
OF A GOOD
BUDGETING SYSTEM yang meliputi:
Government should maintain
a sustainable fiscal
discipline
Fiscal discipline
means that government
expenditure remains within
the limit of
its revenues. If government
expenditure exceeds its
resources than it
either raises debt
or prints more
money resulting in a
budget deficit. If continued
unabated, both of these
options are unsustainable. Governments normally
have fiscal responsibility laws
to check on
the level of
borrowings. In Pakistan, the
Fiscal Responsibility and
Debt Limitations Act
of 2005 provides
borrowing limits.
Effective allocation of
resources to departments,
sectors, and services Public money should
be allocated on
the basis of
evidence of effectiveness
and in furtherance
of the priorities of
government. This requires
moving away from
incremental budgeting (a
method under which a
percentage is added
to the previous
year’s budget to
arrive at the
next year’s budget). The
Government should have
the capacity to
evaluate activities, which
are not contributing to the achievement
of its goals,
based on which
resources can be
shifted to more efficient use.
Efficient provision of
public services
The Government
should achieve value
for money in
delivering public services
and should be attentive
to the quality
and accessibility of
services. Value for money
means that the
Government should have
the capacity to
spend resources in
such a manner that
results in achievement
of objectives with
minimum resources (e.g.
cost, materials, people, etc.)
Alignment of policy
planning, budgeting and
monitoring systems
Budgets should
reflect plans and
policies of departments.
Budgets and plans
should be monitored on
a periodic basis
and lessons learnt
from monitoring should
be used to
improve the next
round of policy planning.
Policy / performance based
budgeting
Traditionally budgets
are made by
‘inputs’ (i.e. financial,
material and human
resources). While it is
important to present
resources required, it is even
more important to
present a budget
by ‘outputs’ (i.e. public
services) to understand
government priorities and
plans. The ‘Output-based budget’
introduces results-orientation to
budget. This means
not only resource requirements, but
the government budget
also, presents the
expected results that
will affect the beneficiaries.
Medium-Term budgeting and
predictability of resources
The budget
needs to have
a medium term,
e.g. 3 years,
perspective. Each year
the budget should be
made on a
rolling-basis (i.e. each
year the budget
should be presented
for the next
3 years) Economic circumstances
may change and so can
plans of the
Government. It is
therefore, necessary to understand
medium term implications
of those decisions. Since government
policies are normally
of a longer
duration (e.g. 5
years), it is
also important to have
a medium term
perspective in budgeting. Each year
departments must be
communicated with medium
term ‘ceilings’ (budget
limits) so as to
allow them predictability of
resources for better
policy planning.
Harmonised Recurrent
and Development Budgets
to focus on
delivery of services
Effective integration of
current and development
budgets is one of the
hallmarks of a good
budgetary system.
Moving to
a unified budget,
however, can be
difficult as it
involves legislative,
institutional, budget presentation
and expenditure management issues. From the
legislative perspective, presenting
a single vote
(Demand) for each
Principal Accounting
Officer, instead of two votes
(Demands); one for
recurrent and one
for development may require
legal changes and
significant consultants within
the Parliament. There
may also be a
revision of roles
of the Finance
Division, and Planning,
Development and Reforms
Division. Similarly, the line
Ministries may undergo
restructuring to focus
on a policy-based
budget as a unified
activity. Therefore, countries
have adopted stepwise
progress. Initially both
the recurrent and
development budgets are presented
through a unified
system of budget
classification. Presenting the
budget by ‘Functional
classification’ (as developed
by the IMF
to provide a
list of standard government
functions - e.g.
defence, health, education,
etc.) can unify
the presentation of the
two sides of
the budget. In
addition, presenting the
budget by services
(also known as
‘outputs’) can also
act as a
means to unify the
presentation of the
two sides of
the budget. In
this regard, ‘output-based
budgeting’ is also
seen as an
important step to enhance unified budget preparation,
review, reporting and
approval.
Delegation of financial
authorities and straightening
of internal control systems
Budget owners
(e.g. Secretaries) should
have the authority
to allocate resources
to the areas
of priority. In parallel,
Ministries / Divisions
should strengthen their
internal control systems
- to ensure that: §
Laws and regulations are adhered
to § Financial information is
analysed and reported
on a regular
basis § Organisation’s objectives
are addressed including
performance and value
for money goals, and §
Organisational assets
are safe guarded. Ministries /
Divisions should have
a dedicated finance
function (e.g. office
of the Finance Director) with
formalised responsibilities and
an internal audit
function.
Budget Laws
Organic budget
laws are common
in Parliamentary democracies.
Through budget laws,
roles and responsibilities of
different institutions are
prescribed. In addition,
budget laws contain
provisions of how the
budget should be
prepared, presented, executed,
monitored and reported.
Also important are legal
provisions related to
changes in limits
(also known as
virement – a
process through which the
budget is shifted
from one Demand
to another, or
an additional budget
is agreed) and purpose
of the budget
during the year.
The following diagram
presents examples of countries
with written and
unwritten constitutions. In most
of the situations,
the Executive rules
and regulations are
subservient to either
one or many budget
laws.
Control over Supplementaries
It is
of course impossible to
fully predict the
future needs of
the Government, and
for Parliament to provide
for them. However,
budgeting requires that
the system of
supplementary funding be controlled. This is done in two ways:
Provision of contingency
funds. In this
way, Parliament provides
additional funds in the
budget based on
its expectation of
the minimal amount
of additional supplemental
funds that may be
provided. Parliament may,
if it wishes
place constraints on the use
of this contingency fund. However
even when this
is done, the
system should require
an immediate report
to Parliament when the funds are accessed to inform it of how they are
to be used. Transfer authority. Parliament
may provide limited
transfer authority to
government, also possibly with
constraints, permitting the
Government to use
funds provided for
one purpose or another.
For example, many
U.S. appropriations permit
one percent of
funds to be transferred to
other purposes. Any
such transfers should,
of course, also
generate a report
to Parliament. Mid-session review of
the budget. A
system of a
mid-session review of the budget
can be established. This
review is an
updated Government report
to the Parliament
both on the economic
situation and the
budget execution. Most
provision of supplementary
funding should be provided
pursuant to a
request made with
the mid-session review,
with provision for “emergency”
supplementals to be
requested outside this
structure.
Transparency and public
participation
Governments should
be transparent on how budget
numbers relate to
issues that affect
people’s daily lives. Participation
of public and
civil society organisations
in the Government’s
budgeting processes is increasing
globally.
Role of Parliamentary
Standing Committees
A vibrant
committee structure creates
a reservoir of
legislative expertise that
can inform Parliament’s budget
process. Most national
budget processes contain
a formal system
of committee review and
comment on budget
proposals. This committee
role would be
facilitated by the support
of the legislative
staff agency described
above, but would
also require adequate training of
key members and
staff. It may
also suggest to
the Assembly and
Senate the value
of consolidating committee comments,
and perhaps committees. In most
Parliamentary democracies considerable
time is allocated
to the Parliament
for review and oversight
of budgetary proposals
of the Executive.
In this case,
the Speaker of
the House refers the
Demands for Grants
to the sectoral
standing committees that
review the budget
and provide a comprehensive
report to the
House for general
debate.
Kaki Merapi, 22 Mei 2015