Sabtu, 30 Mei 2020


New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19
Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Kebijakan new normal saat ini banyak digaungkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, di tengah pandemi Covid-19 yang kian meluas dan menginfeksi jutaan orang di dunia, lebih dari seribu orang meninggal di Indonesia. Perekonomian yang mulai terguncang memaksa sejumlah negara melonggarkan kebijakan terkait mobilitas warganya masing-masing, termasuk Indonesia yang mempersiapkan memasuki masa new normal.
            New normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, hanya saja perubahan ini ditambah dengan menerapakan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Esensi dari new normal adalah penyesuaian pola hidup. Protokol kesehatan yang sering dijadikan rujukan dalam implementasi new normal adalah menjaga jarak sosial (social distancing) dan menjaga jarak fisik dengan orang lain (physical distancing).  Beberapa pakar kesehatan memprediksi bahwa vaksin bagi Covid-19 diperkirakan baru bisa ditemukan pada tahun 2021. Hal ini berarti kehidupan dalam suasana new normal harus tetap dijalani oleh masyarakat paling sedikit sampai pada tahun 2021, bahkan kemungkinan bisa lebih lama lagi.
            Kebijakan mengenai new normal sudah dituangkan dalam Keputusan Kementerian Kesehatan RI Nomor HK 01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Kasus positif Covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih tergolong tinggi, meskipun jumlah pasien yang sembuh juga terus meningkat secara konsisten. Sampai saat ini, bahkan kondisi di Indonesia belum melewati puncak pandemi.
Jika mencermati panduan new normal yang dikeluarkan oleh Kemenkes di atas, sesungguhnya lebih memperlihatkan upaya untuk mengurangi risiko terpapar Covid-19, tetapi memang tidak menjamin terhadap tidak adanya penularan. Hal itu disebabkan resiko penularan bisa ditularkan oleh orang yang tanpa gejala (OTG). Fasilitas medis dan tenaga medis sendiri saat ini sudah cukup kewalahan menangani para penderita Covid-19 yang jumlahnya juga belum memperlihatkan kurva landai atau bahkan menurun. Kondisi ini perlu dijadikan momentum untuk melakukan kajian secara menyeluruh dan perbaikan terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Banyak daerah terpencil masih mengalami kesenjangan dalam pelayanan kesehatan dibandingkan di kawasan perkotaan. Sementara, penanganan terhadap pandemi Covid-19 ini membutuhkan kapasitas pelayanan kesehatan dengan standar kualitas yang tinggi. Sistem hukum kesehatan yang ada saat ini juga masih jauh dari memadai untuk menjadi kerangka hukum kebijakan yang mampu mendukung sistem pelayanan kesehatan secara memadai dan komprehensif. Masih terdapat celah hukum disana sini yang belum mampu mendukung pelayanan kesehatan publik secara memadai, misalnya pengaturan mengenai keseimbangan hak dan kewajiban bagi para tenaga medis, perlindungan hak-hak pasien, pengaturan mengenai distribusi obat dan fasilitas kesehatan lainnya.
Pemerintah saat ini memang menghadapi dilema untuk tetap bertahan menuntaskan penanganan pandemi Covid-19 melalui sejumlah kebijakan PSBB di daerah-daerah yang terdampak, sampai kurva positif Covid-19 betul-betul menunjukkan angka penurunan berhadapan dengan tekanan krisis ekonomi yang melanda banyak negara terpapar Covid-19 termasuk Indonesia. Paling tidak, kini ada 10 (sepuluh) jenis usaha yang terpuruk sebagai dampak Covid-19, yaitu sektor hotel dan pariwisata;  penerbangan; Meeting, Incentives, Conference, Exhibitions (MICE); rumah makan/restoran; bioskop dan konser; olah raga; mall dan ritel; consumer electronic; otomotif dan bahan bakar. Kondisi tersebut bisa memicu terjadinya dampak berikutnya ke sektor rumah tangga sebagai akibat gelombang massal PHK tenaga kerja. Jika dampak tersebut tak terkendali bisa berpotensi terjadinya anomali sistem sosial karena rumah tangga-rumah tangga kehilangan sumber penghasilan.
Jika mencermati kondisi yang terjadi sebagai dampak Covid-19 di atas, sesungguhnya kebijakan yang diambil pemerintah untuk menerapkan new normal dikhawatirkan lebih cenderung bias kepentingan ekonomi daripada kebijakan yang mengarusutamakan faktor kesehatan masyarakat. Tetapi, dihadapkan pada pilihan sulit itu, pemerintah terlihat berusaha mengambil jalan tengah dengan tetap melakukan kebijakan new normal dikaitkan dengan kondisi tiap daerah yang dinilai sudah mulai mengalami kurva landai atau menurun dari Covid-19. Namun, tetap saja, faktor kedisplinan dan kepatuhan masyarakat yang akan menguji kesahihan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut, agar tak menyebabkan datangnya gelombang kedua Covid-19 seperti yang terjadi di RRT, Korea, dan beberapa negara lain.





           


Jumat, 29 Mei 2020


UU No. 2 Tahun 2020: Solusi Fiskal Dan Moneter Atasi Dampak Covid-19
Oleh:   W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Keuangan Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Pandemi Covid-19 tidak hanya menimbulkan masalah berupa kerusakan struktur kesehatan sosial bagi masyarakat, namun juga menimbulkan dampak pemiskinan sosial akibat cara untuk mengatasinya mengharuskan dilakukannya sejumlah tindakan yang menjadi antitesis terhadap bekerjanya sistem perekonomian. Masyarakat harus melakukan tindakan untuk membuat jarak fisik (physical Distancing) maupun jarak sosial (social distancing).
            Tak urung, merebaknya virus Covid-19 membuat aktivitas produksi terpukul sehingga menyebabkan supply shock. Dampak selanjutnya banyak orang kehilangan penghasilan dan pekerjaan yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya demand shock. Krisis ekonomi sebagai dampak dari Covid-19 ini bahkan melampaui krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Pada krisis ekonomi tahun 1998 memang banyak korporasi besar tumbang, namun, perekonomian Indonesia masih tertolong oleh kekuatan dari sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sedikit berbeda dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, akibat krisis itu cenderung dipicdu oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal, Pemerintah pada waktu itu masih bisa mengatasinya dengan mendorong penguatan konsumsi dalam negeri. Kedua krisis itu, sangat berbeda dengan krisis yang terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Cara mengatasi pandemi Covid-19 yang mengharuskan dilakukannya jarak fisik (physical Distancing) maupun jarak sosial (social distancing) dalam terutama dengan dilaksanakannya kebijakan struktural PSBB di berbagai daerah, bisa memicu krisis ekonomi pada perusahaan berskala besar maupun UMKM.
            Hadirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 dan kini sudah disetujui serta disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mengatasi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, bisa dikatakan menjadi titik tolak kebijakan struktural untuk mengatasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.  UU No. 2 Tahun 2020 pada hakikatnya mengatur subyek dan obyek yang diperlukan untuk melakukan terapi finansial dan moneter terhadap krisis perekonomian. Subyek yang diatur dalam undang-undang itu adalah Pemerintah, Pemda, BI, OJK, KSSK dan LPS yang diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing secara sinergis guna mengantisipasi dan mengatasi ancaman krisis perekonomian nasional. Obyek yang diatur adalah keuangan negara yang menjadi instrumen bagi pengambilan kebijakan di bidang fiskal dan moneter guna melakukan pemulihan perekonomian.
            Kebijakan keuangan negara yang digunakan untuk mengantisipasi potensi krisis perekonomian nasional meliputi banyak sektor, yakni: penganggaran dan pembiayaan, keuangan daerah, perpajakan, stabilitas sistem keuangan dan moneter. Pemerintah diberikan kewenangan untuk menjalankan program pemulihan ekonomi nasional guna melakukan penyelamatan ekonomi nasional. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya. Program pemulihan ekonomi nasional tersebut dapat dilaksanakan melalui penyertaan modal negara, penempatan dana dan/atau investasi pemerintah, kegiatan penjaminan dengan skema tertentu berdasarkan otoritas yang diberikan kepada Pemerintah.
            Sektor yang paling terpengaruh sebagai dampak dari pandemi Covid-19 adalah rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan. Sektor rumah tangga sudah mulai mengalami tekanan dari sisi konsumsi, karena masyarakat kesulitan untuk bisa beraktivitas di luar rumah sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Sektor rumah tangga juga terancam kehilangan pendapatan, karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terutama bagi keluarga miskin dan rentan di sektor informal. Sektor UMKM mengalami tekanan ekonomi sebagai akibat tidak dapat melakukan kegiatan usaha yang berimplikasi terhadap terganggunya kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kredit. Pada gilirannya hal ini berdampak terhadap peningkatan secara masif Non Performing Loan sektor perbankan yang bisa berpotensi memburuknya sistem perekonomian nasional. Hal itu juga diperparah sebagai akibat beberapa sektor bisnis yang terpukul akibat pandemi Covid-19 ini juga cukup banyak, mulai dari pariwisata, transportasi, otomotif, properti, manufaktur, pendidikan, jasa keuangan dan migas. Meskipun, di sisi lain, ada juga bisnis yang justru diuntungkan seperti sektor kesehatan, bisnis sektor pangan, sektor IT, ritel dan pengolahan bahan pangan,
            UU No. 2 Tahun 2020 diharapkan mampu menjadi kerangka hukum (legal framework) yang bersifat komprehensif bagi kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam mengatasi potensi krisis perekonomian nasional. Diperlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary) dalam rangka melaksanakan penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang terkait dengan pelaksanakan APBN, khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran jaring pengaman sosial (social safety net) dan pemulihan perekonomian serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
            Pemerintah saat ini perlu memiliki peta jalan (road map) dan cetak biru untuk melaksanakan pemulihan perekonomian berdasarkan identifikasi secara cermat kasus-kasus yang dihadapi oleh berbagai sektor akibat pandemi Covid-19 beserta kebijakan yang digunakan untuk mengatasinya. Hal ini sangat diperlukan agar program pemulihan perekonomian dan kondisi sosial masyarakat dapat dilakukan secara tepat, akurat dan efektif yang ditopang oleh alokasi dan pemanfaatan keuangan negara berdasarkan UU No. 2 Tahun 2020.
           

Selasa, 26 Mei 2020


Pemerintahan Pasca Covid-19

Oleh: W. RIAWAN TJANDRA
Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Pandemi Covid-19 memaksa banyak kalangan untuk beradaptasi sekaligus berinovasi sambil melakukan sejumlah langkah pencegahan agar tak terpapar virus asal Wuhan itu. Berbagai regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh sektor publik sejatinya menjadi penanda dimulainya era baru pengelolaan aktivitas pemerintahan baik pada tataran regulasi maupun implementasi.
            Dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan pada tanggal 16 Mei 1969 disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020, sesungguhnya menghadirkan sejumlah inspirasi dan inovasi. Pertama, pentingnya sinergi antarelemen sektor publik, dalam UU No. 2 Tahun 2020 disebutkan elemen-elemen tersebut adalah Pemerintah (Pusat/Daerah), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter dalam mengatasi kondisi krisis ekonomi dinilai menjadi kunci bagi pemulihan kondisi perekonomian nasional sebagai akibat bencana nonalam. Kedua, integrasi konsep tentang mitigasi resiko dalam desain penganggaran dan pembiayaan selanjutnya harus menjadi acuan dalam setiap penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Kedua, integrasi protokol kesehatan dalam sejumlah kebijakan penganggaran, pengadaan barang/jasa, moneter, fiskal, perdagangan dan lain-lain.
            Pengalaman mengelola pemerintahan di masa pandemi Covid-19 ini oleh para ahli filsafat Yunani digolongkan sebagai pengalaman yang diperoleh melalui panca indera dan bersifat aktif, karena diperoleh secara intelektual dengan melibatkan pengalaman serta observasi. Hal ini berbeda dengan pengalaman sejati yang diperoleh melalui akal budi yang bersifat pasif (Van Peursen: 1991). Pengalaman yang diperoleh secara empiris melalui panca indera seringkali tak beraturan, berbeda dengan pengalaman yang diolah melalui akal budi yang relatif stabil. Mengelola pemerintahan di masa pandemi Covid-19 telah mengubah cara-cara mengelola pemerintahan, tidak hanya di Indonesia,  tetapi juga di banyak negara terdampak, bahwa pemerintah bisa saja menghadapi kondisi yang berubah secara cepat dan mendadak sehingga membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi dan melakukan sejumlah inovasi.
            Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Gehebreyesus, pernah mengingatkan bahwa perkembangan pandemi Covid-19 di seluruh dunia saat ini masih jauh dari berakhir dan bisa berlangsung cukup lama (28/4/2020).  Sinyalemen itu mengharuskan setiap negara, termasuk Indonesia, untuk bisa mengambil langkah-langkah antisipatif dan kreatif. Perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan perlu dilakukan baik di ranah struktur organisasi, kebijakan maupun tata kerja organisasi. Di ranah struktur organisasi, perlunya integrasi protokol kesehatan tentunya mengharuskan perubahan pada desain struktur organisasi agar menjadi efektif, efisien epat mengambil mengambil keputusan dan responsif terhadap persyaratan protokol kesehatan. Pada level kebijakan, pengambilan kebijakan publik pada batas-batas tertentu perlu melibatkan para ahli kesehatan dan gugus tugas Covid-19 yang telah dibentuk di pusat maupun daerah. Tata kerja organisasi juga harus beradaptasi dengan melakukan sejumlah inovasi. Misalnya, ketika terkait dengan pengadaan barang/jasa oleh Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa di setiap kementerian, lembaga maupun pemerintahan daerah, protokol kesehatan harus diintegrasikan dalam hal memberikan batasan relasi fisik antara pengguna (sektor publik) dan penyedia (swasta/BUMN), penggunaan dan pemeriksaan dokumen fisik dan lain-lain.
            Dalam menghadapi kondisi pandemi Covid-19 setiap subyek harus mengambil jarak dari kondisi yang mengancam dirinya. Hal itu akan menjadikannya untuk mengambil sikap hening dan reflektif agar mampu membuka diri pada pikiran-pikiran baru yang kreatif. Manusia selama ini telah menggeser paradigma kosmosentris yang menempatkan manusia sebagai bagian dari kosmos yang dipandang sakral, menjadi antroposentris yang hanya mengandalkan subyektivitas dan akal budinya, sehingga menyebabkan pola relasi antara manusia dengan alam cenderung bersifat subordinatif/dominatif. Kini, manusia dipaksa untuk memposisikan dirinya kembali sebagai elemen dari kosmos/alam. Sejumlah perubahan “radikal” perlu dilakukan dalam mengelola sistem pemerintahan di era pasca Covid-19 melalui sejumlah inovasi di hulu dan hilir kebijakan pada sektor publik. Covid-19 seharusnya tak hanya menjadi bencana, tetapi mengubah paradigma.
                                                                                                                 

Sabtu, 16 Mei 2020


Perppu No. 2 Tahun 2020: Mengayuh Di Antara Demokrasi dan Pandemi
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M.Hum.

                        Pandemi Covid-19 yang melanda lebih dari 213 negara di dunia telah berdampak terhadap tidak berjalannya sistem demokrasi konstitusional yang bersifat normal. Demokrasi konstitusional yang bersifat normal mengandaikan kondisi sosial masyarakat tidak berada di tengah tekanan keadaan darurat, salah satunya seperti yang saat ini dihadapi terjadinya kondisi bencana nonalam berupa pandemi Covid-19.
            Demokrasi yang hendak dilaksanakan di tengah pandemi justru berpotensi menjadi sebuah ancaman, bukan lagi prasyarat bagi bekerjanya sistem demokrasi konstitusional yang menjadi amanah UUD Negara RI 1945. Pasal 5 dan Pasal 20 UUD Negara RI 1945 yang mengatur baik kewenangan pemerintahan maupun fungsi legislasi pemerintah dalam kondisi sosial normal memiliki karakter sebagai bangunan sistem demokrasi konstitusional yang bersifat normal dalam kaitannya dengan Pasal 18 ayat 4 (pemilihan kepala daerah). Saat ini, dengan dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang dilaksanakan adalah bangunan norma konstitusional yang bersifat darurat (extraordinary) karena Presiden menggunakan Pasal 22 UUD Negara RI 1945.
            Pandemi Covid-19 yang sampai saat ini bersifat tak dapat diprediksi (unpredictable) telah menyebabkan subtansi dari Perppu No. 2 Tahun 2020 terkesan bersifat ambigu. Di satu sisi, Pemerintah ingin tetap memastikan kewenangan penyelenggaraan pemilihan serentak kepala daerah berada di tangan KPU sesuai dengan prinsip yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara RI 1945, namun, di sisi lain Pemerintah juga berhadapan dengan dilema menghadapi bencana nonalam Covid-19 yang masih tidak jelas berakhirnya. Akibatnya, dimunculkanlah ketentuan Pasal 201A Perppu No. 2 Tahun 2020 yang membuka kemungkinan penundaan pelaksanaan pemilu serentak untuk dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun, Pasal 201A ayat (3) masih membuka ruang bagi penundaan kembali pemilu serentak manakala penundaan sampai pada bulan Desember 2020 masih terhambat oleh belum berakhirnya bencana nonalam Covid-19. Hal ini yang menimbulkan kesan adanya ketidakpastian mengenai saat pelaksanaan pemilu serentak.
            Penundaan pelaksanaan pemilu kepala daerah serentak sesungguhnya juga berdampak secara serius terhadap desain perencanaan dan kerangka kerja (framework) bagi program dan kegiatan KPU/D. Ketidakpastian ini telah menempatkan demokrasi lokal berada di ujung tanduk dan ketidakpastian.Di sisi lain, jika berhasil dilaksanakan pada bulan Desember 2020 jika membutuhkan dukungan pembiayaan di luar KPU/D yang diambil dari APBN/D telah cukup banyak mata anggaran bagi program/kegiatan yang telah direncanakan dalam APBN/D dilakukan pengalihan/penggeseran melalui mekanisme refocusing dan realokasi anggaran berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 maupun Inpres No. 4 Tahun 2020. Masa pelaksanaan pemilu serentak pada bulan Desember 2020 juga menyebabkan sangat berhimpitnya jarak waktu penggunaan anggaran untuk membiayai pemilu serentak tersebut dengan batas waktu pertanggungjawaban bagi APBN/D pada akhir bulan Desember guna penyusunan Pertanggungjawaban Anggaran Negara (PAN) pada triwulan pertama tahun 2021. Hal ini juga memerlukan perhatian serius dan kebijakan khusus untuk memberikan relaksasi bagi batas waktu pertanggungjawaban anggaran jika pemilu serentak berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 2020.
            Apabila sampai pada bulan Desember 2020 masih belum dapat dilaksanakan akibat masih belum nornalnya kondisi sosial karena Covid-19, penundaan pemilu sampai pada tahun 2021 juga mengharuskan adanya kepastian batas waktu bagi pelaksanaan pemilu serentak tersebut mengingat keharusan KPU/D untuk mendesain program kerja dan anggaran untuk mengantisipasi penundaan kembali pemilu serentak tersebut. Hal ini terkait dengan tahapan pemilu serentak yang relatif panjang mulai dari sosialisasi/kampanye, penetapan pasangan calon, keberatan/gugatan, sampai pada pelaksanaan pemilunya sendiri. Kondisi bencana nonalam yang menimbulkan ketidakpastian demokrasi ini sesungguhnya menghendaki adanya inovasi dalam penyelenggaraan pemilu yang memungkinkan sistem demokrasi tetap bisa berjalan dengan mengintegrasikan protokol kesehatan. Hal itu bisa dipikirkan dengan memperluas penerapan sistem demokrasi elektronik pada tahapan-tahapan pemilu itu agar pemilu tidak terlalu lama tertunda tanpa mengabaikan ancaman kondisi bencana nonalam Covid-19 yang memakan banyak korban jiwa di berbagai negara.
*) Penulis adalah pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, konsultan sektor publik.

Kamis, 14 Mei 2020


Kebijakan Keuangan Negara Dalam Mengatasi Pandemi Covid-19

Oleh: W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menimbulkan kedaruratan kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara. Langkah Pemerintah RI dalam mengatasi pandemi Covid-19 dilakukan melalui serangkaian kebijakan struktural untuk menghadapi bahaya penyakit yang mematikan itu.
            Kebijakan yang diambil di sektor keuangan  dilakukan diawali dengan menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas  Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi  Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Presiden juga mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2020 tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sebagai landasan kebijakan untuk menyesuaikan kebutuhan penanganan pandemi covid-19 secara efektif dengan anggaran yang tersedia dalam APBN tahun 2020. Langkah mengeluarkan kebijakan ini dinilai tepat, mengingat kebutuhan APD, rumah sakit darurat untuk menangani pasien-pasien yang terpapar covid-19, obat-obatan, biaya pendukung medis, dan lain-lain harus segera tersedia.  Inpres tersebut merupakan solusi darurat dalam menghadapi kondisi darurat covid-19 yang membutuhkan anggaran yang besar. Selain itu, dampak sosial ekonomi dari kondisi darurat covid-19 juga harus diatasi melalui kebijakan keuangan negara yang kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020.
            Terkait lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020, ada sejumlah pihak yang mempertanyakan apakah kebijakan itu tidak melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Terkait dengan keberadaan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tersebut dapat diberikan catatan berikut. Pertama, pada saat menghadapi ancaman pandemi Covid-19 yang mengharuskan langkah-langkah untuk melakukan physical distancing maupun PSBB serta sejumlah protokol kesehatan lain, tidak mudah menggunakan Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 dengan menempuh jalur rancangan perubahan APBN. Kedua, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak. Ketiga, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Hal itu juga diatur diantaranya pada Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral.
Di ranah tekhnis operasional pemerintah juga perlu membuat landasan hukum bagi relaksasi penerimaan negara maupun stimulus fiskal dari sejumlah sumber penerimaan dengan mengeluarkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK), antara lain PMK No. 11/PMK.010/2020 yang memberikan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, PMK No. 12/PMK.010/2020 yang mengatur mengenai kebijakan pemerintah untuk menanggung bea masuk sektor industri tertentu pada tahun anggaran 2020, PMK No. 16/PMK.010/2020 yang mengatur kebijakan pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penamanan modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya dan sejumlah PMK lain.
Kebijakan untuk melakukan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran melalui Inpres No. 4 Tahun 2020 dalam Hukum Administrasi Negara menunjukkan digunakannya kewenangan diskresi presiden dalam menghadapi kondisi darurat pandemi Covid-19 yang diwujudkan dalam bentuk produk peraturan kebijakan (policy rule) berupa Instruksi Presiden. Ketidakmungkinan penggunaan APBN dengan seluruh mata anggaran yang tersedia sudah disusun sejak tahun 2019 melalui proses perencanaan anggaran yang sangat panjang mengharuskan dikeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2020. Di ranah pengadaan barang/jasa, dilakukan perubahan desain pengadaan barang/jasa. Hal itu terjadi karena adanya gangguan pada rantai pasok yang menimbulkan disrupsi terhadap produk maupun distribusi pengadaan barang/jasa penanganan Covid-19 yang telah menimbulkan ketidakpastian yang tinggi bagi para pelaku ekonomi termasuk pemerintah sebagai pembeli dan penyedia sebagai penjual. Guna mengatasi kondisi itu. digunakanlah Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Keadaan Darurat yang diikuti dengan diterbitkannya Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-2019, serta mengenai pengadaan dalam keadaan darurat digunakan Bab VIII Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang mengatur mengenai Pengadaan Khusus.
Perppu No. 1 Tahun 2020 yang dimaksudkan untuk menjadi jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19. Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat prinsip. Pertama, menyangkut obyek diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, peranan aktor-aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, konsekuensi dari dilakukan kebijakan diskresi dalam bidang keuangan maka diperlukan jaminan kepastian hukum menyangkut subyek pengambil kebijakan keuangan agar tidak dituntut secara perdata maupun pidana dengan syarat pelaksanaan tugas dilakukan berdasarkan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menyangkut obyek kebijakan terkait implementasi Perppu No. 1 Tahun 2020 biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Meskipun hal itu merupakan konsekuensi dari diskresi yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi negara, namun, potensi fraud dan penyalahgunaan wewenang harus diantisipasi dengan mengefektifkan pengawasan internal maupun eksternal di seluruh mekanisme penggunaan keuangan negara. Jika kebijakan dilakukan tidak didasarkan atas itikad baik dan melanggar peraturan perundang-undangan, tentunya hal itu berada di luar jaminan perlindungan hukum (legal protection) bagi kewenangan diskresi pejabat administrasi negara dalam Perppu No. 1 Tahun 2020.

           

Senin, 11 Mei 2020


Peranan Peraturan Kebijakan (Policy Rule) Dalam Mengatasi
Pandemi Covid-19
Oleh:
W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
            Peran pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia, seakan-akan diuji kapasitas dan efektivitasnya dalam menanggulangi pandemi covid-19. Konon, pemerintah akan semakin meningkat kualitasnya jika mampu lolos dari “ujian” ini untuk mengatasi pandemi covid-19 ini secara tepat, cepat dan akurat. Jika mencermati langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19 ini terlihat pemerintah berupaya untuk memadukan penggunaan kewenangan regulasi, peraturan kebijakan (policy rule) dan perangkat birokrasi sebagai organ pelaksana kebijakan.
            Tak lama setelah menilai bahwa terjadi peningkatan jumlah korban yang terpapar covid-19 yang semakin membahayakan, segera Presiden menetapkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu itu meskipun setelah disetujui oleh DPR menjadi UU menjadi bagian dari hierarkhi peraturan perundang-undangan, namun, landasan kewenangan pembentukannya sesungguhnya bisa dikatakan didasarkan atas kewenangan diskresi konstitusional yang merupakan implementasi dari Pasal 5 (executive power)  dan Pasal 22 (extraordinary power) UUD Negara RI 1945 yang keduanya melekat pada presiden dalam sistem pemerintahan presidensial. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa landasan pembentukan Perppu tersebut adalah kewenangan diskresi Presiden dengan produk hukum yang dihasilkan disetingkatkan dengan UU mengingat konsiderasi pembentukannya yang didasarkan atas kegentingan yang memaksa.
            Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut kemudian menjadi rujukan dari sejumlah produk peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan berikutnya. Meskipun tak bisa dikatakan cepat, namun, Perppu tersebut masih bisa dikatakan hadir saat yang tepat, yaitu masih dalam triwulan pertama tahun anggaran 2020. Proses refocusing dan realokasi APBN/D masih dapat dilakukan dengan efektif, karena belum terlalu banyak policy pengadaan barang/jasa yang sudah dieksekusi. Kebanyakan masih pada tahapan proses persiapan pelaksanaan swakelola maupun pemilihan penyedia.
            Hal yang penting untuk dicermati juga dalam upaya mengefektifkan langkah-langkah kebijakan pemerintah adalah pembentukan apa yang dalam Hukum Administrasi Negara disebut dengan peraturan kebijakan (policy rule). Peraturan Kebijakan bukanlah bagian dari hierarkhi peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Kebijakan dibentuk berdasarkan kewenangan diskresi pemerintah sebagai akibat adanya kebutuhan faktual dan operasional pemerintah dalam mengeksekusi sejumlah kebijakan penting, tetapi tidak ada perintah langsung dari undang-undang bagi pemerintah untuk membentuk peraturan pelaksanaan. Agar eksekusi kebijakan dapat dilaksanakan dengan efektif, diperlukan pedoman bagi pejabat pemerintah di ranah tekhnis operasional untuk melaksanakan sejumlah kebijakan operasional penting yang dituangkan ke dalam peraturan kebijakan.
            Beberapa contoh dari peraturan kebijakan yang dibentuk pada masa pandemi covid-19 yang dinilai memperlancar penyelenggaraan kewenangan di ranah tekhnis-operasional dapat diuraikan berikut ini. Pertama, Presiden segera mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2020 tentang Refocusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sebagai landasan kebijakan untuk menyesuaikan kebutuhan penanganan pandemi covid-19 secara efektif dengan anggaran yang tersedia dalam APBN tahun 2020. Langkah mengeluarkan kebijakan ini dinilai tepat, mengingat kebutuhan APD, rumah sakit darurat untuk menangani pasien-pasien yang terpapar covid-19, obat-obatan, biaya pendukung medis, dan lain-lain harus segera tersedia.  Inpres tersebut merupakan solusi efektif menghadapi kondisi darurat covid-19 yang membutuhkan anggaran yang besar. Selain itu, dampak sosial ekonomi dari kondisi darurat covid-19 juga harus diatasi melalui kebijakan keuangan negara yang kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020.
            Kedua, bertitiktolak dari Inpres tersebut, sejumlah peraturan kebijakan menyusul. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP) mengeluarkan SE No. 4 Tahun 2020 yang esensinya mengintegrasikan protokol covid-19 dengan pelaksaaan pembuktian kualifikasi/klarifikasi dan negosiasi pada proses pemilihan penyedia dalam pengadaan barang/jasa dalam masa pandemi covid-19. Kebijakan ini penting untuk tetap mengefektifkan proses pengadaan barang/jasa bagi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam penanganan covid-19, dengan tetap menggunakan rujukan protokol covid-19.  Tak urung KPK juga mendukung langkah-langkah penanganan covid-19 dengan dikeluarkannya SE Ketua KPK No. 8 Tahun 2020 yang mengatur pedoman penggunaan anggaran dalam pengadaan barang/jasa dalam rangka percepatan penangangan covid-19 dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi.
            Roda birokrasi di daerah dalam mengatasi kondisi darurat covid-19 juga didukung oleh dikeluarkannya SE Mendagri No. 440/2622/SJ yang membentuk gugus tugas percepatan penanganan covid-19 di Daerah. Kebijakan itu sangat penting untuk melakukan penajaman dan memfokuskan pekerjaan pemerintah daerah dalam menangani pandemi covid-19 yang meluas di 34 provinsi yang ada di Indonesia.
            Ketiga, berbagai contoh yang dikemukakan di atas memperlihatkan peranan yang sangat penting dari keberadaan kewenangan yang melekat pada jabatan para pengambil kebijakan manakala menghadapi kondisi yang harus diatasi secara tepat, namun, peraturan perundang-undangan tak menyediakan landasan yuridis yang lengkap atau memerlukan interpretasi dalam pelaksanaan operasionalnya. Peraturan-peraturan kebijakan yang dapat dikeluarkan pemerintah dalam teori Hukum Administrasi sangat variatif, bisa berbentuk instruksi, surat edaran, juklak, juknis, pedoman, pengumuman atau bahkan bisa berupa nota dinas. Peraturan kebijakan tersebut dalam banyak kasus sangat mendukung implementasi kebijakan pemerintah secara efektif karena memberikan pedoman yang jelas bagi aparat pemerintah di ranah tekhnis operasional untuk mengambil tindakan secara bijaksana. Peraturan kebijakan memang bukan bagian dari hierarkhi peraturan perundang-undangan, namun, dinilai sangat penting untuk mendukung efektivitas kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan faktual yang membutuhkan respons pemerintah secara cepat dan tepat.

Minggu, 10 Mei 2020


(Mengapa) Pemilihan Kepala Daerah Di Era Pandemi Covid-19?

Oleh:

W. Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Administrasi Negara FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

            Mempertanyakan mengenai Pemilihan Kepala Daerah di saat pandemi covid-19 saja sudah menjadi problematik tersendiri, apalagi memikirkan jawabannya? Jika memulai dari perspektif konstitusi, lebih tepat jika dimulai dengan membaca paradigma bahwa sesungguhnya konstitusi merupakan resultante (hasil kesepakatan) sesuai dengan kebutuhan ideologi, politik, ekonomi,  sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (KC. Wheare, 1975). Dengan demikian, materi muatan konstitusi bukanlah masalah salah dan benar,  karena merupakan hasil dari proses pilihan politik (Mahfud MD, 2010).
UUD Negara RI 1945 sesungguhnya terdiri dari 2 (dua) karakter bangunan norma konstitusional. Pertama, bangunan norma yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat normal/reguler. Kewenangan pembentukan undang-undang oleh Presiden dan DPR sebagaimana diatur pada Pasal 5 dan 20 UUD Negara RI 1945 mengandaikan sistem landasan konstitusional bagi kehidupan bernegara yang bersifat normal. Kedua, bangunan norma yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary). Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diatur pada Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945 menjadi dasar konstitusional penyelenggaraan kekuasaan negara dalam situasi/kondisi darurat (extraordinary). Meskipun Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD Negara RI 1945 juga mengharuskan persetujuan DPR terhadap Perppu yang dihasilkan oleh Presiden sebagai perwujudan azas demokrasi ketatanegaraan dan azas pemerintahan bersifat terbatas (limited government).
Lahirnya Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang di masa pandemi covid-19 saat ini telah menegaskan berlakunya kondisi ketatanegaraan yang bersifat darurat. Kondisi darurat seperti yang dihadapi saat ini telah membatasi berlakunya kehidupan konstitusional yang bersifat normal. Kebijakan untuk mengatasi kondisi covid-19 yang mengharuskan dilakukannya pembatasan jarak sosial dan fisik antarindividu (social and physical distancing), PSBB dan Bekerja dari Rumah (Work From Home) menjadi halangan yang serius untuk berjalannya kehidupan demokrasi yang bersifat normal yang mengharuskan partisipasi pemilih dalam memberikan suaranya.
Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut merupakan bangunan norma yang lahir dari landasan konstitusional kehidupan bernegara dan sistem hukum yang bersifat darurat (extraordinary) yang merupakan implementasi Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Terdapat paling tidak 3 (tiga) hal prinsip yang diatur oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 tersebut. Pertama, dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan. Pelaksanaan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan tersebut) dimulai dari tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak yang terhenti.           
Kedua, otoritas penundaan pelaksanaan pemilihan serentak bagi kepala daerah tersebut diletakkan di tangan KPU yang mengharuskan adanya persetujuan tripihak, yaitu KPU, Pemerintah dan DPR. Tata cara dan mekanisme penundaan dan persetujuan tersebut oleh Perppu No. 2 Tahun 2020 diserahkan kepada kewenangan regulatif KPU melalui Peraturan KPU. Ketentuan tersebut terlihat ingin memadukan perspektif demokrasi konstitusional yang memberikan kewenangan mandiri kepada KPU di ranah pemilu, namun tanpa melepaskan dari situasi dan kondisi darurat yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Satu dan lain hal, dengan tetap membuka ruang bagi KPU untuk menyesuaikan dengan perkembangan pengaturan kondisi darurat. Namun, tentu saja disini harus tetap dicermati pengaruh keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam hal pembiayaan demokrasi di tingkat lokal. Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 tentu saja berimplikasi terhadap refocusing dan realokasi sejumlah mata anggaran di Pusat maupun Daerah. Padahal, cukup banyak biaya pendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak lanjutan yang tentunya mengharapkan pembiayaan dari APBN/D. Meskipun tentu saja, Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap anggaran negara yang dikelola oleh KPU maupun KPUD.
Ketiga, pemungutan suara serentak yang sebelumnya diatur pada Pasal 201 Perppu No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan melalui UU No. 1 Tahun 2015 ditunda oleh Pasal 201A Perppu No. 2 Tahun 2020 untuk dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sebagai akibat terjadinya bencana nonalam. Jika tetap tidak dapat diselenggarakan pada bulan Desember 2020, kembali diserahkan kepada KPU untuk membuat keputusan penundaaan dengan melibatkan persetujuan tripihak seperti disebutkan di atas (diatur pada Pasal 122A Perppu No. 2 Tahun 2020). Dengan adanya ketentuan penundaan pelaksanaan pemilu berdasarkan Pasal 122A maupun Pasal 201A tersebut tentu harus dipikirkan lebih lanjut beberapa konsekuensi kebijakan. Pertama, perilaku politik dari pihak-pihak petahana untuk memanfaatkan momentum kondisi darurat tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan efek elektoral secara unfairness bagi kepentingan politiknya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya kebijakan sebagai akibat penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut. Kedua, ketidakpastian alokasi pendanaan sistem pemilihan kepala daerah yang memungkinkan terjadinya pergeseran waktu pencairan anggaran pada waktu yang sangt sempit dan berhimpitan dengan batas waktu pertanggungjawabannya pada akhir tahun fiskal, yaitu akhir bulan Desember yang lazimnya mekanisme penyusunan laporan anggarannya oleh setiap entitas publik sudah dimulai sejak pertengahan bulan Desember. Dan, ketiga, kemungkinan ketidakpastian kerangka kerja (framework) KPU/D yang bersimbiosis dengan Rencana Kerja dan Anggaran untuk tahun 2021 yang tentunya secara normatif seharusnya sudah dimulai proses penyusunannya pada tahun 2020 ini, sebagai dampak ketidakpastian berakhirnya kondisi darurat pandemi covid-19 yang dihadapi. Perlu ada pengkajian dan kebijakan antisipatif terhadap berbagai potensi permasalahan terkait pemilihan kepala daerah tersebut.
           




New Normal Di Tengah Pandemi Covid-19 Oleh: W. Riawan Tjandra Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta             Kebij...